Beranda Nusantara Dari Surabaya ke Balikpapan, Dari Rasis ke Makar

Dari Surabaya ke Balikpapan, Dari Rasis ke Makar

650
0
BERBAGI
Aksi Masa di Jayapura Menuntut Pelaku Rasis di Surabaya di Tangkap
Aksi pembakaran Kendaraan

Semakin marak tuntutan untuk membebaskan tujuh warga Papua yang diadili di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur. Tuntutan itu muncul lantaran, Jaksa Penuntut Umum menuduh tujuh warga Papua itu telah menghasut untuk perbuatan makar sehingga kerusuhan bertema rasis muncul di seluruh Tanah Papua.  Sementara tindakan rasis terhadap Mahasiswa Papua, bermula dari Surabaya. Berikut ini, ikutilah Catatan New Guinea Kurir yang dinukil Warta HAM yang diterbitkan oleh Komnas HAM Perwakilan Papua.

 SORE itu, Jumat, 16 Agustus 2019, sekitar pukul pukul 15.20 WIB, suasana tegang terjadi di seputar Asrama Mahasiswa Papua  di Jl. Kalasan No. 10, Surabaya, Jawa Timur.  Ketegangan itu terjadi lantaran ada  sejumlah anggota TNI,  Polisi, Satpol PP dan sejumlah anggota Ormas mengepung Asrama Papua itu.

Pengepungan itu terjadi karena diduga, para penghuni Asrama Papua telah melecehkan dengan merusak tiang bendera dan membuang bendera merah putih ke dalam selokan, dekat Asrama Mahasiwa Papua.

Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya yang Dikepung

Dugaan yang disertai dengan tuduhan itu, membuat salah seorang dari kelompok yang mengepung asrama itu (anggota TNI,  Polisi, Satpol PP dan sejumlah anggota Ormas) melontarkan kata “Monyet” kepada penghuni Asrama Mahasiswa Papua.

Aksi pengepungan yang diiringi pelemparan batu, teriakan rasis dan diskriminatif, terus terjadi. Hingga akhirnya pihak kepolisian memutuskan untuk masuk ke dalam asrama, dengan terlebih dulu menembakan gas air mata ke dalam asrama.

Sedikitnya 42 mahasiswa asal Papua itu pun digelandang ke Polres untuk diperiksa. Namun hingga malam berselang, mereka kemudian dikembalikan ke asrama. Beberapa mahasiswa mengalami luka fisik akibat kejadian ini.

Para mahasiswa Papua itu dituduh telah melecehkan simbol negera – bendera merah putih, dengan mematahkan tiang bendera dan membuang benderanya ke parit.

Kabar perusakan tiang bendera Merah Putih di Asrama mahasiswa Papua, Surabaya, Jawa Timur menyeruak cepat pada Jumat, 16 Agustus 2019. Massa yang terdiri dari berbagai macam ormas itu kemudian memadati halaman depan asrama itu sejak siang hingga malam hari.

Padahal saat massa datang, tiang bendera Merah Putih masih tegak di depan asrama itu. Ketegangan terjadi setelah aparat keamanan masuk ke dalam asrama. Beredar kabar, mereka sempat mengeluarkan kata-kata bernada rasisme kepada mahasiswa yang ada di dalam asrama.

Setelah peristiwa itu, media sosial ramai dengan pengecaman tindakan rasisme pada mahasiswa Papua. Suhu panas di media sosial merambat hingga ke Papua dan Papua Barat.

Kata bernada rasis  yang dilontarkan di Surabaya itu telah menyulut amarah orang asli Papua. Pada Senin, 19 Agustus 2019, massa tumpah di jalanan Kota Manokwari, Papua Barat. Gedung DPRD Papua Barat jadi sasaran amukan massa. Mereka membakar gedung tersebut.

Amarah menjalar ke Sorong. Bandara di sana pun ikut dirusak massa. Selain itu lembaga pemasyarakatan juga ikut dirusak.

Kata rasis ini telah menyulut kemarahan orang asli Papua itu, sehingga massa turun ke jalan, mulai di Manokwari lalu Sorong. Lalu kemarahan ini merembes terus ke daerah lain, seperti Fakfak, Timika,  Jayapura, Wamena dan sejumlah daerah di kawasan  pegunungan Tengah Provinsi Papua.

Roku di Jayapura yang Dibakar

Letupan kemarahan itu, telah menelan korban, baik itu korban jiwa maupun korban harta benda. Bahkan tetesan darah dan air mata pun kembali tercucur di Tanah Papua, hanya gara-gara kata rasis.

Di Jayapura, letupan amarah itu membara sehingga siang itu, 29 Agustus 2019, disaat Kota Jayapura tersengat terik mentari, ribuan warga Papua turun ke jalan menggelar aksi unjuk rasa.  Mereka marah lantaran adanya dugaan tindakan rasis yang dialami mahasiswa Papua di Surabaya pada pertengahan Agustus 2019.

Massa melakukan aksi long marc dengan berjalan kaki belasan kilo meter dari Waena menuju Kota Jayapura.

Aksi ini membuat suasana Kota Jayapura mencekam. Masyarakat memilih tidak beraktivias, dan sebagian besar perkantoran dan pertokoan tutup.

Entah apa pemicunya, tapi massa yang melakukan long marc itu, tiba beringas sehingga aksi turun jalan jalan berubah menjadi anarkis.

Pembakaran dan penjarahan terjadi di mana-mana. Bangunan pemerintah dan tempat usah (ruko) dibakar.  Kota Jayapura mencekam.

Korban dari Aksi Renuntut Tindakan Rasis

Menurut laporan Komas HAM RI Perwakilan Papua, kerusakan di wilayah Entrop dan Hamadi di Jayapura Selatan, yaitu : Bangunan terbakar 12 bangunan, bangunan yang pecah kaca 154 Bangunan, ATM yang hancur ada 3 unit, Kios yang ludes terbakar 40 unit, Rumah makan yang terbakar berjumlah 8 unit  dan Kerndaraan yang terbakar berjumlah 5 unit.

Menanggapi peristiwa pengepungan Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya menyusul pernyataan rasis, Gubernur Papua, Lukas Enembe menghimbau kepada para mahasiswa, jika tempat studinya tidak aman, pemerintah akan pulangkan (JawaPos.Com, 10 September 2019).

Setelah pernyataan Gubernur Papua, lalu Majelis Rakyat Papua (MRP) mengeluarkan maklumat No. 05/MRP/2019, tertanggal 21 Agustus 2019.  Isinya tentang seruan kepada mahasiswa di semua kota studi untuk kembali ke Tanah Papua, karena di daerah kota studi tidak ada jaminan.

Sementara itu, kata bernada rasis itu telah tersebar melalui media sosial sehingga menyulut amarah orang asli Papua, baik yang berada di Tanah Papua (Provinsi Papua Barat dan Papua), di Pulau Jawa, Pulau Bali,  Sulawesi, bahkan orang asli Papua yang berada di luar negeri.

Letupan Amarah itu bermula pada Senin, 19 Agustus 2019 di Kota Manokwari, Ibu Kota Provinsi Papua Barat.  Kemudian muncul di Kota Jayapura pada 29 Agustus lalu merembes hingga ke sejumlah kabupaten, seperti, Kabupaten Deyai, Pegunungan Bintang dan amarah itu membarah di Kota Wamena pada Senin, 23 September 2019 sehingga menelan korban puluhan jiwa.

Selain letupan amarah terjadi mana-mana, muncul lagi aksi pulang ke tempat asal yang dilakukan para mahasiswa dari berbagai kota study  seperti Surabaya, Manado, dan Bali, dan lain-lain di seluruh Indonesia.   Sementara itu, pemerintah, Polri, dan TNI di kota-kota study sudah memberikan jaminan keamanan bagi mahasiswa Papua, tapi para mahasiswa tetap saja kembali ke Papua.

Jumlah para mahasiswa yang kembali ke Papua, belum ada data yang akurat. Tapi Gubernur Papua, Lukas Enembe menyebutkan, sudah 3000 mahasiswa yang kembali ke Papua.  Dari jumlah yang disebutkan itu, diperkirakan jumlah terbesar mahasiswa yang kembali ke Papua berasal dari kota study Manado, Sulawesi Utara, Bali dan Surabaya.

Kapolda Papua

Menanggapi proses sidang terhadap tujuh warga Papua di Pengadilan Balikpapa dan maraknya tuntutan berbagai komponen masyarakat terhadap dakwaan makar untuk tujuh warga itu, maka dalam dialog Rasisme dan Makar di Portal Jubi.Co.id pada 13 Juni 2020, Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw menegaskan, penegakan hukum di Papua tidak dianggap sebagai persoalan politik.

Kapolda berharap masyarakat dapat melihat sebuah persoalan dari hulu ke hilir, sehingga tidak membuat kesimpulan yang salah.

Waterpauw membeberkan kronologis kejadian penyidikan sejumlah mahasiswa Papua yang berdemonstrasi di Jayapura pertengahan tahun lalu kemudian berakhir dengan tuntutan makar di Persidangan Pengadilan Negeri Balikpapan.

“Polisi memiliki alasan karena sejak awal sudah mengumpulkan bukti sehingga harus menjadikan para terdakwa sebagai pelaku makar,” tegas Kapolda.

Menurut Jenderal bintang dua ini, pihak kepolisian pun sudah merekonstruksi kasus tersebut dalam sejumlah pasal-pasal yang akan disangkakan. Misalnya, dia menuturkan pasal 110, 160, 170, dan 106 jo 155 KUHP.

“Inilah dakwaan gabungan yang kemudian oleh para JPU beliau merangkaikan sebuah perbuatan yang menyatakan lebih dalam fakta persidangan mengarah ke unsur pasal makar,” ucap dia.

Bintang Kejora pun Dikibarkan

Kapolda mengingatkan, publik tidak boleh mengabaikan kerusakan dan juga korban jiwa dari insiden demonstrasi tersebut.  Dia mengklaim, setidaknya 44 orang meninggal dunia, kemudian banyak lainnya menjadi korban luka.

Menurut Waterpauw, ada 600 ruko dan juga hampir 300 rumah yang rusak dan habis dibakar. “Ini bukan sebuah fiksi, ini korban jiwa,” kata dia.

Kapolda mengakui bahwa masyarakat Papua itu merasakan kekecewaan lantaran tindakan rasial yang terjadi di asrama Papua, Surabaya pada tahun lalu.

Menurut Bank Data New Guinea Kurir (NGK), bahwa mereka terlibat tindakan rasis di Asrama Mahasiswa di Surabaya, telah menjalani proses hukum. Contohnya, terdakwa Syamsul Arifin yang merupakan oknum aparatur sipil negara (ASN) dalam insiden itu dijatuhi hukuman 5 bulan penjara. Sementara, terdakwa lain yang menjadi penyebar ujaran kebencian dan berita bohong, Tri Susanti alias Susi divonis 7 bulan penjara oleh hakim PN Surabaya. (Krist Ansaka)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here