
Catatan dari Diskusi Dua Orang Sahabat
SEMILIR angin Barat siang itu, Minggu 18 Oktober 2020, membuat sengatan matahari tak terasa. Suhu udara di Bibir Danau Sentani di Gelanggang Remaja, Waena, saat itu sekitar 32 derajat Celsius pada pukul 13.00 Waktu Papua. Sambil menikmati jagung rebus dan pemandangan Danau Sentani dari sebuah restoran yang sedang dipersiapkan di bibir danau itu, saya Kristian Ansaka dan sahabatku, Kristian Epa, diskusi tetang nasib dusun sagu di Kabupaten Jayapura.
Diskusi ini kami mulai dari peraturan daerah, luasan hutan sagu, pekan sagu nusantara sampai dengan hari kebangkitan masyarakat adat yang ketujuh tanggal 24 Oktober 2020. “Adoohh… macam kitong dua ini ahli sagu saja,” kata sahabatku Kristian Epa, salah satu tokoh masyarakat Sentani yang kini menjabat sebagai Asisten Satu Setwilda Kabupaten Mamberamo Tengah.
Saya mulai angkat bicara begini, “Sobat, kelihatannya Pemerintah Kabupaten Jayapura, sangat lemah dalam menjaga pelestarian hutan sagu di Sentani. Padahal, daerah ini sudah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 tahun 2000 tentang Pelestarian Kawasan Hutan Sagu. Sayangnya, peraturan itu mati suri. Hutan sagu tak terjaga, penebangan terus berlangsung.”
Pace Epa tersentak mendengar sentilan yang terlontar dari mulut seorang jurnalis. Sebagai pamong sejati, Kristian Epa langsung angkat suara, “Pembangunan di daerah seperti pisau bermata dua. Di satu sisi memudahkan akses masyarakat dalam beraktivitas, di sisi lain ada lahan-lahan yang harus direlakan hilang agar ekonomi bisa bergerak. Kondisi ini yang terjadi di Kabupaten Jayapura. Hutan sagu yang menjadi tumpuan hidup masyarakat secara turun-temurun, mulai tergerus derasnya pembangunan dalam Rencana Tata Ruang (RTRW) Kabupaten Jayapura.”
Pace, ko stop pidato dulu. Ko dengar saya pung data ini dulu. Berdasarkan data yang saya miliki dari Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Jayapura tahun 2019, bahwa jumlah hutan sagu yang ada di Kabupaten Jayapura seluas 3.302 hektare (ha) yang terdiri dari 6 distrik (kecamatan). Rinciannya, Sentani 1.964,5 ha, Sentani Timur 473,0 ha, Sentani Barat 74,6 ha, Waibu 138,9 ha, Unurum Guay 277,3 ha, dan Demta 374,6 ha.
Tapi luas lahan hutan sagu itu akan terkikis oleh pembangunan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Jayapura dengan Fakultas Kehutanan Universitas Papua, lahan hutan sagu yang akan hilang diprediksi mencapai 2.832 ha. Itu artinya, lahan yang tersisa tinggal 470,5 ha di 6 distrik, Kabupaten Jayapura.
Rincian potensi lahan yang hilang dari 6 distrik itu lebih dari 70 persen, bahkan di Distrik Sentani Barat dan Demta disebutkan lahan sagu akan lenyap 100 persen. Sementara di Sentani yang hutan sagunya paling besar, prediksi kehilangannya juga besar menjadi 1.507 ha atau terkikis hingga 77 persen.
“Wouw… Gawat !” kata Kristian Epa, mantan Camat Makki, di Kabupaten Jayawijaya itu sambil mengajak saya naik kendaraan Hilux. “Ayo.. kita dua pergi lihat hutan-hutan sagu yang sudah ditebas di Kampung Kleugleuw, Kampung Harapan, Kampung Netar hingga di Yabaso.”
Sambil menikmati jagung rebus, kami meluncur dengan kendaraan Hilux menelusuri jalan mulus ke arah Sentani. Ketika sampai di Telaga Maya, Kita berdua tidak lagi mengikuti jalan raya tapi kita berdua memulai petualangan kita di bekas-bekas hutan sagu yang kini sudah menjadi jalan untuk kepentingan Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua tahun 2021.
Dari Telaga Maya trus ke Kleugleuw lalu ke Kalkhote di Kampung Harapan hingga ke Kampung Netar. Hasil penenelusurannya, hutan sagu sudah dibakar dan ditebas untuk pembangunan jalan dan rumah-rumah.
Bahkan pohon-pohon sagu yang tumbuh di belakang ruko dan hotel-hotel merupakan sisa sejarah dari keberadaan hutan sagu yang hilang karena pembangunan. Kalaupun ada lahan sagu yang dipagari, itu berarti sudah dibeli orang dan tinggal menunggu untuk dieksekusi menjadi tempat lain.
Sementara itu, nampak pembangunan perumahan juga sedang giat-giatnya di Kabupaten Jayapura. Saat kami pulang, tampak perumahan baru bergenting warna biru berjejer di beberapa lokasi.
Dalam beberapa kesempatan, Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw, mengakui jika hutan sagu di daerahnya mulai terkikis. Dia berpendapat, kebutuhan hidup masyarakat memaksa mereka menjual lahan sagu. Kata Mathius, orang tua perlu biaya untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Ada juga calon legislatif yang butuh dana untuk kampanye memutuskan untuk menjual lahan sagunya.
“Perlu duit. Ketika ada orang tawarkan ini (jual lahan sagu), ada pergulatan yang cukup dalam. Pengembang nih pintar juga, dia sudah terima uang ya sudah,” tutur Mathius.

Untuk menjaga kelestarian hutan sagu, kata Mathius, sebenarnya daerahnya memiliki aturan khusus, yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pelestarian Kawasan Hutan Sagu. Hanya Pemda Jayapura yang memiliki aturan ini tapi sayangnya, aturan ini belum sepenuhnya ditaati.
Karena itu, kata dia, Tapi, agar hutan sagu tetap terjaga, kata Mathius, perlu ada perbaikan tata ruang (RTRW). Menurut dia, selama ini sistem pemerintah belum berpihak pada kelestarian hutan, terlihat dari mudahnya izin pembangunan.
“Sistem birokrasi kita belum berpihak pada lingkungan. Kalau perizinan. Artinya kerja kerja kita kan perlu berbasis lingkungan. Terus Kementerian PUPR itu juga. Kita juga berharap REI (Real Estate Indonesia) itu juga harus sepakat,” jelasnya.
Pemda Jayapura pun mesti kerja lebih keras lagi untuk mensosialisasikan Perda Sagu ini kepada masyarakat bahwa hutan sagu merupakan potensi ekonomi yang besar, selain peninggalan nenek moyang yang memang harus dilestarikan.
Meski begitu, Mathius berpendapat, jika masyarakat diwajibkan menjaga hutan sagu mereka, pemerintah harus memberikan insentif atau alternatif yang memudahkan masyarakat. Hal ini, kata Mathius juga menjadi perdebatan di dunia internasional di mana masyarakat perlu didorong untuk menjaga hutan sagu mereka.
Mathius pernah ke Paris dan San Fransisco untuk mengeikuti pertemuan lingkungan hidup. Saat itu, ada peserta dari Amerika Latin, mereka ngeluh, karena disuruh jaga hutan tapi dapat apa-apa?
Dari catatan bupati ini, lalu, apa yang harus Bupati atau Pemerintah Kabupaten Jayapura perbuat untuk menjalankan amanat Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pelestarian Kawasan Hutan Sagu?
Tampaknya, Bupati Jayapura hanya menyanyikan lagu tentang adat, tapi dusun sagu yang menjadi satu kesatuan dengan sistem adat, diabaikan, bahkan dihancurkan oleh kebijakan yang tidak memihak kepada kelestarian hutan sagu.
Di sinilah buktinya, kalau tanggal 24 Oktober 2020, merupakan momentum untuk menentukan sikap, bahwa masyarakat adat dan pemerintah Kabupaten Jayapura, gagal dalam mempertahankan dusun sagu. “Sagu dilupakan, masyarakat adat terabaikan,” kata sahabatku, Kristian Epa.
Untuk itu, seharusnya, DPRD Kabupaten Jayapura harus memanggil dan menyidangkan saudara Bupati karena ia tidak menjalankan amanat Perda No. 3 Tahun 2000 dan dapat dianggap tindakannya melanggar Perda itu. “Wakil rakyat jangan tidur dengar lagu soal rakyat,” begitulah lirik lagi Wakil Rakyat dari Iwan Fals. (Krist Ansaka)