Beranda Ko Su Tau Kah ? Pasal 33 UU Pokok Agraria dan Kondisi di Papua

Pasal 33 UU Pokok Agraria dan Kondisi di Papua

970
0
BERBAGI
John N.R. Gobay (Foto : DPRP)

Oleh : John N.R. Gobay (*)

ADA sejumlah kebijakan pemerintah pusat yg keluar setelah Keputusan MK 35 thn 2012 yang keluar setelah adanya gugatan AMAN dan komunitas adat di Banten dan Sumatera terhadap UU Kehutanan yang mana hak ulayat selama ini diklaim oleh negara sebagai hutan negara dan bukan hutan hak.

Dengan MK 35 hutan yang tumbuh diatas tanah dengan status hak ulayat ditetapkan sebagai hutan Hak dan bukan hutan negara lagi. Hutan itu tumbuh di atas tanah berarti tanah hak ulayat itu adalah hak adat. Tapi pemerintah mengacu pada pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 thn 1960 yaitu “Hak Ulayat Diakui Sepanjang Masyarakat Adat Masih Ada”, dan Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Permendagri 52/2014, permen ATR 10/2016, permen Kehutanan dan LH no. 38 tentang perhutanan sosial semuanya itu meminta perintah provinsi, kabupaten/kota untuk memastikan apakah masyarakat adat masih ada atau tidak.

Frasa Hak Ulayat Diakui Sepanjang Masih Ada Masyarakat Adat Frasa ini adalah sebuah politik hukum, hal ini menurut saya masih perlu diperdebatkan oleh masyarakat adat, apakah pembuat UUPA melihat dengan perspektif Indonesia Barat ataukah mereka melihat dari sudut negara yang menyebut adalah warga negara. Yang perlu disadari adalah masyarakat adat ada sebelum negara terbentuk sehingga haruslah dan sejatinya adalah negara wajib mengakui masyarakat adat tanpa syarat tertentu.

Dari perspektif lain adalah mungkin para pembuat UUPA menyusun UU ini dengan perspektif Jawa dan Sumatera yang pada jaman Belanda tanah tanah masyarakat telah diambil oleh VOC yang bekerjasama dengan para raja dan sultan yang telah membangun konspirasi bisnis sehingga rakyat kehilangan tanah, akhirnya frasa ini dibuat karena setelah Belanda tidak lagi di Indonesia maka semua tanah dan aset yang dikuasai Belanda kemudian dinasionalisasi menjadi milik pemerintah sehingga rakyat sudah tidak punya hak lagi atas tanah tersebut.

Ini dua perspektif yang menurut saya mengapa frasa ini muncul dan ini menurut saya sebuah cara yang sistematis dibuat oleh negara untuk tidak mengakui hak ulayat dan masyarakat adat.

Bagaimana Di Tanah Papua ?

Papua dan Papua Barat memiliki sejarah yang berbeda dengan propinsi lain di Indonesia oleh karena itu frasa ini tidak dapat diterapkan karena satu raja atau pimpinan adat di Papua tidak pernah bekerjasama dengan VOC sehingga dapat diklaim bahwa tanah dinasionalisasi untuk negara sehingga kini harus diteliti dulu apakah masih ada atau tidak hak ulayat. Tanah di Papua semua adalah pemiliknya yaitu suku dan sub suku dan keluarga serta fam, sehingga yang penting adalah pengakuan dan penghormatan karena masyarakat Papua baik itu pejabat atau rakyat adalah masyarakat adat serta anak adat dari sukunya.

Secara teknis yang perlu adalah pendaftaran sesuai dengan fakta yang ada dalam suku masing masing yang dilakukan dengan pemetaan dan kemudian pemerintah membuat pengakuan dan penghormatan.

Solusinya, pertama : UUPA dan UU lain yang mengacu pada pasal 3 ini harus direvisi khusus untuk Papua artinya ada pasal khusus yang mengatur kondisi khusus di Papua dalam sebuah pasal khusus dalam revisi UU Pokok Agraria di Indonesia karena faktanya berbeda dengan propinsi lain di Indonesia.

Kedua, harus ada Perdasus masyarakat adat yang memuat fakta dan muatan lokal di Papua terkait tanah adat dan masyarakat adat. ***

(*) Penulis adalah anggota DPRP Papua dari Fransi Otsus)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here