Oleh : Andi Salim
BANGSA Indonesia memiliki Pancasila bukan saja sebagai dasar negara melainkan sebagai warisan budaya dan pandangan bagi tujuan hidup berbangsa. Namun menjadi falsafah bagi segenap warga negaranya yang apabila dikaji dengan baik, nampak bahwa ke lima sila yang terkandung didalamnya memberi makna kemanusiaan yang sejalan dengan cita-cita luhur bagi semua umat beragama berdasarkan keyakinan dan keimanannya masing masing.
Perumusan atas sila sila di dalam dokumen dokumen pembentukan Pancasila itu telah secara resmi menjadinya sebagai buah konsensus nasional, sebab banyak pada setiap silanya mengandung pemahaman dan nilai nilai yang sepenuhnya sejalan dengan aspirasi warga bangsa sekaligus umat beragama termasuk mengenai konteks keadilan dan kehidupan berkebhinnekaan ditengah-tangah masyarakat kita.
Pernyataan Prof. Mahfud MD yang mengatakan bahwa Para pendiri Negara Indonesia pun pernah mendebatkan persoalan ini untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam atau negara sekuler. Namun setelah perdebatan panjang, dua kelompok yang ingin membuat negara Islam dan negara sekuler itu memutuskan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Pancasila, Hal ini sesuai dari apa yang disampaikan Ketua Gerakan Suluh Kebangsaan, Prof Mahfud MD saat mengadakan dialog Lintas Agama di Gedung PP Muhammadiyah, Kamis (10/1).
Setelahnya, Prof Mahfud menambahkan bahwa Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) dulu pernah bersikukuh untuk mendirikan negara Islam yang mereka sampaikan melalui Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) hal itu sebagaimana diutarakan oleh KH. Abdul Kahar Muzakkir dan KH Wahid Hasyim yang mempertegas keinginannya agar Indonesia menjadi negara Islam. Tapi di lain pihak ada kelompok berbeda, yakni Sukarno atau biasa dipanggil dengan sebutan Bung Karno yang mengatakan tidak boleh Indonesia dijadikan negara Islam atau negara agama. Hingga kesepakatan para tokoh bangsa itu pun terjadi pada akhirnya.
Sehingga semua agama mendapat pengakuan negara, dimana sesungguh dialog para tokoh tersebut menjadi dinamika secara internal yang tentu saja hal ini akan menjadi bagian lain sebagai kepedulian dari para pendiri bangsa ini untuk mendudukkan komponen agama secara khusus bagi kelangsungan berbangsa dan bernegara, sehingga upaya untuk menjadikan faktor agama sebagai wilayah privasi hingga berposisi sebagaimana yang diatur didalam hukum dan Konstitusi Indonesia sejak dahulu.
Bahwa negara menjamin kebebasan beragama kepada semua warganya atau bagi masing-masing umat menurut agama atau keyakinannya sendiri-sendiri. Sehingga Konstitusi itu juga menetapkan bahwa negara Indonesia harus didasarkan pada azas keyakinan yaitu kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Artinya pengakuan tersebut merupakan prinsip utama dari sila pertama Pancasila, yaitu filosofi negara Indonesia tersebut dibeberkan presiden Soekarno pada tahun 1945.
Perubahan dan dinamika sosial yang terjadi belakangan ini, juga mempengaruhi dalam tata kehidupan beragama dan bernegara, sehingga hubungan keduanya sering menjadi perdebatan yang aktual dan dinamis, sebab ada saja pihak yang memiliki pandangan bahwa agama dan negara bersifat integral yang tidak dapat dipisahkan, sementara ada pihak lain dari kalangan reformis yang ingin memunculkan pandangan sekuler dengan menyebutkan bahwa agama dan negara harus didudukkan secara terpisah.
Dinamika perdebatan tersebut tidak lepas dari sifat dan norma agama (Islam) yang bersifat mengikat dan komprehensif tersebut. Dimana urusan duniawi dan ukhrawi merupakan hal yang menjadi satu kesatuan yang utuh. Apalagi sejarah telah membuktikan bahwa norma agama, terutama dari kalangan Islam untuk tumbuh bersama dan menjadi sejarah kehidupan negara Indonesia, maka akan menjadi mustahil jika hal itu dipisahkan dari urusan negara, dimana didalamnya terdapat kekuasaan dan kewenangan guna mengatur hal tersebut.
Pandangan dan pokok pikiran diatas dapat saja terus menjadi alasan berfikir bagi siapapun, namun pemikiran untuk menjaga kesatuan berbangsa dan bernegara, tidak boleh terusik oleh dinamika keagamaan yang secara sengaja mengusik keberagaman dalam kebhinnekaan bangsa ini, dimana konsensus yang pernah dibentuk oleh funding fathers adalah kelanjutan kesepakatan yang harus kita junjung tinggi. Dimana kita semua harus menjaga dan mempertahankan keutuhan bangsa Indonesia yang tidak boleh kalah dari kepentingan apapun.
Bagaimana pun, fakta sejarah harus tetap menjadi acuan atas gagasan dan buah pemikiran dari dinamika yang berkembang. Termasuk dari ideologi transnasional yang jelas-jelas bertujuan merusak sendi keberagaman kita. Sebab walau bagaimana pun, masyarakat masih tetap mendambakan kedamaian, keamanan dan kerukunan antar umat beragama, sekaligus pengakuan atas kebhinekaan yang terikat melalui Pancasila sebagaimana falsafah bagi bangsa Ini. Fakta inilah yang tidak dapat dibantah dari realitasnya. ***