SAYA bangun jam 5 pagi. Badan terasa menggigil kedinginan. Udara pagi yang menerobos masuk lewat celah-celah dinding ruangan terasa menusuk tulang. Saat tidur semalam, saya sengaja mematikan lampu dan air conditioner (AC) agar bisa terlelap. Soalnya saya tidak terbiasa tidur dengan menyalakan AC. Bisa pilek nanti saat bangun pagi.
Saya masih ingat. Dulu di tahun 1990an, orang Maybrat biasanya tidur mengelilingi tungku api di dalam rumah-rumah tradisional mereka hingga fajar menyingsing. Temperatur udara malam hingga pagi biasanya sangat dingin. Jadi dibuat tungku yang berfungsi sebagai tempat masak, sekaligus penghangat ruangan di dalam rumah-rumah mereka.
Perkambungan di Maybrat dulunya terdiri dari kumpulan rumah-rumah tradisional berbentuk rumah panggung berkaki. Ada rumah yang memiliki banyak kaki penyokong yang tinggi diatas permukaan tanah. Rumah tradisional ini beratap daun sagu atau seng. Berdinding anyaman bambu, rangkaian kulit kayu atau papan. Sebab masih terbatas peralatan dan bahan untuk membangun rumah.
Wilayah orang Maybrat yang terkurung di pedalaman kepala burung Tanah Papua, saat itu masih sulit diterobos jalur transportasi darat. Jalur penghubung utama hanya lewat udara melalui lapangan terbang Kambuaya dan Ayawasi. Ada jalur laut dan sungai melalui kali Klamono dari Sorong yang menghubungkan Teminabuan, ibukota Sorong Selatan sekarang.
Situasi ini membuat orang Maybrat hidup seadanya sesuai apa yang disediakan alam. Termasuk membangun rumah dengan bahan seadanya. Orang Maybrat secara tradisional membangun berbagai tipe rumah sesuai kebutuhan dan fungsi. Ada rumah untuk berkebun. Rumah untuk dusun atau rumah yang dibuat untuk berburu dan mencari di hutan. Ada rumah tinggal dan rumah untuk pertemuan dan lain-lain. Tapi ini dulu.
Sebab dalam perjalanan melintasi jalan trans Kota Sorong-Maybrat, saya hampir tidak melihat rumah-rumah tradisional orang Maybrat yang masih berdiri kokoh di kampung-kampung yang kami lalui. Hampir di semua kampung sudah berdiri rumah-rumah bertipe permanen, bahkan ada yang menggunakan desain arsitektur modern.
Suku Maybrat, adalah suatu entitas masyarakat kesukuan yang juga disebut suku A3 (Ayamaru, Aitinyo dan Aifat). Mereka adalah salah satu suku di area kepala burung Tanah Papua yang mendiami wilayah yang terdiri dari rangkaian dataran dan perbukitan berkapur (karts), lembah, sungai dan danau. Wilayah dimana orang Maybrat bermukim kini terbagi menjadi Kabupaten Maybrat, Sorong Selatan dan Tambrauw, Provinsi Papua Barat Daya.
“Ahh…,saya harus bangun pagi segera. Mandi sebelum pegawai datang. Karena nanti malu kalau pegawai datang, saya masih tertidur,” pikir saya cemas. Pikiran ini memaksa saya bangun. Membuyarkan imajinasi tentang masa lalu orang Maybrat. Saya kemudian menggeser tirai jendela untuk melihat keluar dari balik kaca. Suasana diluar masih tampak gelap. Langit pagi Kumurkek pun masih hitam pekat.
Pagi itu, Senin, 26 Juni 2023. Udara pagi begitu terasa dingin di kulit sehingga memaksa saya bangun lebih awal. Temperatur udara di wilayah Maybrat umumnya cukup dingin di pagi hari. Pada hari tertentu kadang berkabut di luar. Tak jarang ketebalan kabut dapat menghalangi pandangan. Kabut akan buyar perlahan tatkala sang surya menampakan wajah.
Ruang Satpol PP di lantai bawah gedung berlantai dua Kantor Bupati Maybrat di Kumurkek, menjadi tempat saya menginap saat tiba. Selepas menempuh perjalanan selama kurang lebih 6 jam dari Kota Sorong atau sejauh 180 kilometer. Perjalanan Sorong – Maybrat jika dilakukan di malam hari, akan lebih menantang karena diselimuti suasana kegelapan malam yang sunyi melompong.
Biasanya hanya terdengar bunyi suara jangkrik dan suara binatang yang beraktivitas di malam hari. Jika ada kendaraan yang lewat, hanya terlihat sorotan cahaya lampu di kejauhan yang meneropos celah-celah pepohonan. Sementara jika perjalanan dilalui pada pagi hari, tak jarang kabut tipis atau tebal dapat menghalangi pandangan.
Kabut ini laksana abu putih yang berterbangan menghalau jarak pandang. Jadi sopir kadang harus menyalakan lampu atau menepikan kendaraan sesaat menunggu kabut berlalu. Kondisi medan jalan yang kecil, tanjakan, tikungan dan kadang ada badan jalan yang berlubang, membuat sopir harus bekonsentrasi penuh. Bila tidak, kecelakaan dapat terjadi.
Saya menggulung tikar. Mengikatnya. Menarik kasur dan mengembalikan tikar dan kasur ke tempat semula disamping dinding. Saya bersyukur karena bisa mendapat tumpangan untuk tidur. Saya lalu membuka tas. Menarik plastik tempat peralatan mandi dan handuk disimpan. Selanjutnya buru-buru menuju kamar mandi dan toilet. Sayangnya, toilet dan kamar mandi di lantai bawah dekat ruang tempat saya tidur, airnya mati.
Tapi masih ada sedikit air berwarna keruh di dalam ember dan bak viber berukuran kecil di beberapa ruang kamar mandi. Ini bukan air PDAM. Tapi air sungai yang mengalir ratusan meter dari atas bukit. Air ini disalurkan menggunakan pompa menuju Kantor Bupati Maybrat. “Kalo tidak hujan, air biasa jernih sekali. Kadang bisa langsung diminum,” kata seorang anggota Satpol PP saat datang menghampiri saya.
Ia bersama beberapa rekannya telah melaksanakan tugas jaga hingga pagi. Pria ini memberitahu saya agar bisa mandi di kamar mandi sebelah yang airnya mengalir bila keran dibuka. “Kemarin siang kami sudah kerja perbaiki mesin, selang dan kase bersih kotoran. Supaya air bisa mengalir normal kembali,” tambahnya.
Saya kemudian mandi dan sikat gigi setelah mencukur kumis. Airnya terasa dingin di kulit. Aduhh..,saya seperti mandi air es yang baru mencair. Setelah mandi, saya menuju ruang Satpol PP untuk mengganti pakaian. Mengenakan pakaian sedikit formal. Berbalut batik Papua berwarna coklat dan celana kain berwarna abu-abu.
Sebelum keluar, saya melahap beberapa potong roti tawar yang disiram susu kental manis. Lalu menyeruput kopi susu hangat dalam termos mungil yang selalu saya bawa. Semua bekal itu saya siapkan sejak memulai perjalanan dari Kota Sorong. Setelah perut terisi, pikiran saya segar kembali untuk memulai pagi pertama di Kumurkek.
Dari dalam ruangan terdengar suara sahutan anjing menggongong di luar. Mereka seperti sedang kegirangan bermain di pagi hari. Karena penasaran, saya membuka tirai jendela untuk melihat keluar. Ada seorang anggota Satpol sedang memindahkan sampah dari dalam tong yang berjejer di halaman belakang. Ia akan membuangnya menggunakan sepeda motor beroda tiga.
Beberapa menit kemudian langit sudah mulai sedikit terang. Dari dalam ruangan, terdengar sejumlah suara percakapan di luar. Menggunakan bahasa Maybrat dan sesekali bahasa Indonesia. Saya kembali menggeser tirai jendela untuk melihat keluar. Tampak beberapa perempuan sudah datang untuk mulai bekerja. Mereka akan menyapuh dan mengepel lantai bertehel di lantai bawah hingga atas.
Saya lalu memberanikan diri membuka pintu dan berjalan ke luar. Bermaksud mengamati suasana pagi di sekitar halaman Kantor Bupati Maybrat nan tampak megah dari luar. Seraya ingin menyaksikan kabut pagi yang biasanya menyelimuti beberapa area di Maybrat. Sayangnya, kali ini saya tidak beruntung!
Tidak ada kabut saat saya mencoba melangkah keluar untuk mengeksplorasi halaman kantor bupati. Bisa jadi karena kondisi tidak memungkinkan sehingga kabut tidak muncul. Sebelumnya saya sempat mendengar cerita bahwa kabut pagi sudah jarang muncul di Maybrat karena pemanasan global dan naiknya temperatur udara. Selain itu banyak pepohonan di hutan yang telah ditebas untuk berbagai kebutuhan warga.
Bagi saya yang tinggal di kota, pengalaman manyambut kabut pagi yang bergentayangan memang sangat memukau. Terakhir kali saya menikmati pemandangan kabut pagi di Maybrat 10 tahun lalu. Saat itu saya bermalam di Kampung Kambuaya, sebuah kampung tua yang berada di tepian danau Ayamaru. Kabut saat itu cukup pekat sehingga setiap kendaraan yang melintas di jalan raya beraspal harus menyalakan lampu atau berhenti.
Kali ini kabut tidak muncul di Kumurkek. Saya berdiri di teras samping kiri gedung Kantor Bupati Maybrat sambil mengamati sekeliling. Setelah itu menyapa beberapa perempuan Maybrat yang tengah menyapu lantai di teras samping gedung kantor bupati. “Rabu ohh kanu beta, selamat pagi” kata saya menggunakan bahasa Maybrat dan bahasa Indonesia. Mereka pun membalas sapaan saya. “Rabu ohh kinyi yi,” yang berarti selamat pagi untuk kamu juga.
Menyadari bahwa saya orang baru, seorang perempuan paruh baya lantas bertanya pada saya. Perempuan ini bermarga Wafom. Ia adalah pemilik rumah dan warung makan sederhana di belakang tembok pembatas halaman kantor bupati. Saya pernah sekali makan dan minta air hangat disini. Saya juga biasa meminjam tali jemurannya untuk menjemur pakaian.
“Anak dari mana, tadi malam tidur disini kah?’ tanya mama Wafom. “Saya dari Jakarta ke Sorong, terus kesini. Mau jalan-jalan lihat situasi saja di Maybrat mama,” jawab saya sambil tersenyum. Mendengar itu dia mengangguk lalu lanjut bekerja. Beberapa perempuan muda yang menyaksikan percakapan kami pun tersenyum dan lanjut bekerja.
Saya kemudian berjalan mengitari halaman kantor bupati yang luas. Hujan yang mengguyur semalam membuat pepohonan dan rerumputan di sekitar area ini seakan bersemangat menyambut pagi. Embun pagi yang tampak bening masih mengendap diatas pucuk-pucuk rerumputan hijau. Taman di halaman depan dan samping yang dihiasi beragam tanaman pun tampak segar.
Matahari mulai malu-malu menampakan wajahnya setelah beranjak dari pelukan cakrawala. Pijaran cahayanya menembus celah-celah pepohonan. Memberi harapan bahwa masih ada kehidupan selepas hari berganti dan malam berlalu. Memberi semangat bagi burung-burung untuk keluar dari sarangnya dan berterbangan riang gembira menyambut fajar.
Di halaman belakang tembok pembatas gedung kantor bupati, berdiri sebuah rumah kayu sederhana. Rumah ini milik mama Wafom, perempuan paruh baya yang sempat bertanya kepada saya. Ia adalah bagian dari marga pemilik lokasi tanah berdirinya Kantor Bupati Maybrat dan sejumlah gedung perkantoran.
Rumah kayu ini selain dihuni keluarganya, juga menjadi warung makan. Biasanya jadi tempat makan, minum kopi dan bersantai bagi para pegawai. Warung ini juga menyediakan menu khas Papua. Soal harga, lumayan terjangkau.
Di sebelah rumah ini, dua eksavator terparkir. Sepertinya sedang mengerjakan proyek gusuran untuk pembangunan gedung dan pembuatan jalan di belakang kantor bupati. Pepohonan yang membentuk kawasan hutan di sekitar area ini masih tumbuh merapat dan lebat. Sebagian hanya tergerus untuk pembangunan gedung perkantoran dan jalan. Atau dibabat untuk lahan kebun.
Dalam perjalanan dari Sorong menggunakan bus, saya sempat mendengar percakapan para penumpang bahwa wilayah Sorong Raya (termasuk Maybrat) hampir setiap hari diguyur hujan. Kehujanan di jalan, kemalaman dan bagaimana mendapat tumpangan untuk bermalam di Kumurkek, sempat menjadi kekuatiran saya. Soalnya saya baru pertama kali ke Kumurkek dan tidak mengenal seorang pun.
Tapi kekuatiran itu pun sirna. Saya akhirnya bisa diizinkan menumpang di ruangan Satpol PP Kantor Bupati Maybrat yang cukup nyaman selama seminggu lebih. Ada wifi dengan jaringan internet gratis di seluruh area kantor bupati. Ini cukup membantu saya berselancar di dunia maya dan berkomunikasi saat handphone saya kehabisan paket data internet.
Sejak hari pertama tiba di Kumurkek, saya sempat terkurung di sekitar area kantor bupati karena tidak tahu harus kemana? Kampung Kumurkek adalah tempat baru bagi saya. Tidak ada kendaraan. Tidak ada tumpangan. Juga tidak punya kenalan warga lokal.
Setelah beberapa hari terkurung, saya pun beruntung. Seorang saudara datang untuk membawa saya berkeliling selama sehari penuh di beberapa area di Maybrat. Ia adalah pegawai di bagian kehumasan dan protokoler Pemda Kabupaten Maybrat. Ia seperti seorang penuntun jalan (guide) bagi saya.
Dengan menggunakan sepeda motor KLX berwarna hijau miliknya, kami telah mengeksplorasi beberapa wilayah di Maybrat. Mengunjungi dan memandang danau Ayamaru yang legendaris dari atas sebuah bukit. Kami juga mengunjungi beberapa perkampungan di sekitar danau Ayamaru, wilayah Aitinyo dan kampung Ayawasi. Tak lupa mengunjungi spot wisata kali (sungai) Kaca nan eksotis.
Kali Kaca merupakan salah satu spot wisata yang menarik untuk dikembangkan. Terutama agar bisa memberi manfaat bagi warga sekitar dan mendatangkan PAD bagi Pemda Kabupaten Maybrat. Selama terkurung di sekitar area Kantor Bupati Maybrat, saya telah mengenal beberapa personil Satpol PP yang ramah. Saya juga bertemu seorang pria Sunda, penata taman Kantor Bupati Maybrat yang telaten.
Ia adalah pekerja satu-satunya yang mengurus dan bertanggung jawab atas penataan taman di halaman kantor bupati. Bang Cecep, begitulah pria Sunda asal Sumedang, Jawa Barat ini dipanggil. Orangnya sangat kalem. Ia setiap pagi dan sore selalu menyediakan air panas bagi saya untuk kebutuhan minum kopi. Kadang memberi saya makan malam.
Perjalanan saya kali ini ke Maybrat boleh dibilang suatu perjalanan spiritual. Perjalanan yang penuh perenungan, harapan dan cita-cita. Semoga ada hari esok yang lebih baik bagi Maybrat dan masyarakatnya maupun bagi Tanah Papua tercinta. (Julian Haganah Howay)