Babe Oser Ma Syowi – Filosofi Konservasi Menurut Orang Byak
BIAK, NGK – Belum lama ini, kami – Tim dari The Indonesia Locally Managed – ILLM, berkunjung ke Pasar Bosnik di Biak Timur, Kabupaten Biak Numfor. Kami bersua-bercanda bersama di Pasar Bosnik. Begitu riuh rendah suara penjual ikan dan makan cepat saji, dan makanan pokok keladi, ubi talas, ubi jalar, buah-buahan dan sayuran. Tidak itu saja, tapi ada perahu motor tempel berkejaran ke tepian menurunkan ikan dan jualannya.
Pemandangan yang sungguh menawan, apalagi tepian pantai airnya bersih, bening kebiru-biruan, yang dihiasi pasir putih bak tepung halusnya. Memang letak pasar Bosnik di tepian pantai yang mengajak pembeli disughi panorama indah.
Setelah menyusuri Pasar Bosnik, bertemu seorang yang usianya 73 tahun. Dia bernama Yunus Rumkorem. Yunus biasa disapa dengan nama Bapak Nabi.
Nabi berasal dari Kampung Supraima, Meos Mangguandi. Dia pejuang dan perintis pekerja lingkungan tanpa pamrih, di kawasan Kepualuan Padaido, khususnya di tengah keluarga, maupun pesisir, laut Meos Mangguandi.
Ketika bersama-sama menikmati pinang dan terlontar kata” Yafasos asifya yaramunda ido nari yasma inysa sibor (saya menyiapkan penampung ikan karena saya tahu tempat tempat ikan dan akan pulang dengan membawa ikan yang banyak). Itulah filosofi anak-anak pulau pada waktu lalu sampai hari ini.
Dengan suara merendah, mansar Nabi mengatakan dengan Bahasa Biak Timur, ayame romawa meos risaya. Yakor asif mbo yaramunda (saya ini anak pulau, sebelum melaut telah siapkan penampung ikan). Yun Insya yan ose, yasif oser (saya bawa ikan, makan seekor dan menyimpan yang lain), filosofi ini mengandung makna, ikan tidak pernah berkurang karena selalu diatur baik penangkapannya maupun persediaan di dalam rumah (keluarga).
Apa yang dikemukakan mansar Nabi Rumkorem itu, menjadi signal penataan dan pengaturan keseimbangan antara kebutuhan dan system penangkapan ikan selalu berasal kearifan lokal. Selanjutnya ia mengatakan, mgobefnder awer ro bepyum nanen awer (jangan sampai lupa hal yang baik ini). Sebenarnya yang dimaksudkan adalah wariskan kearifan lokal ini secara turun temurum.
Yang lebih dasyat adalah soren irawame yaf inggobenairi (laut itu kebun kami). Fyor iwara insya siborda, srakero yenandire (dulu kala ikan begitu banyak berjejer sampai ke bibir pantai).
Rosai befnsifs insya srande kero yenandirya, kero kade sek raryasi sifnakro bubes? (Apa sebab ikan begitu banyak sampai di pinggiran pantai, bahkan hampir dan berjalan di halaman rumah di tepian pantai?). Kata kuncinya satu: insibor kukro kawasa sesyowi yayesi, smamwarek soren ma insya (Ikan begitu banyak Karena masyarakat saling menghargai dan menghormati untuk menjaga dalam pandangan filosofi saling menghormati, menjaga memelihara dan mengakui sesama dengan wilayah. Itulah ungkapan syowi ma babe oser (Inilah dasar konservasi masyarakat pulau pada waktu lalu). Beliau lebih lanjut mengatakan” babe syowi rom mnu, keret, baba oser ro mnu, naneme adat bebe syowi nairi (sekali lagi, kebersamaan saling menghormati baik sesama orang sekampung, sanak saudara, se keret di ikat dengan norma adat syowi, yang merupakan landasan pijak mengawasi seluruh laut, kampung dan hidup bermasyarakat.
Demikian juga dikatakan, mnuyo imbe ryamunda ryaswan ido ikofen badir be bena mnu ma swan sya (orang sekampung hendak mencari ikan di kampung tetangga, mereka memohon izin atau lapor bahwa hendak mencari ikan di wilayah kampung saudara atau kampung lain) Mengapa? Karena mereka telah melewati yawek (batas wilayah) ma babe syowi anya( mereka menghormati batas wilayah kampung dan tetap menghormati dan menjunjung tinggi nilai dan filosofi syowi.
Mengapa harus pamit? (Rosa befnai fa mgor baido mgokofen badirya?), jawabnya, kuker mob senairi ma yawek senairi (Karen itu tempat dan batas wilayah adat mereka).
Filosofi yang di kemukan di atas menjadi pagar, norma orang Biak menjaga memelihara dan mengembangkan seluruh kehidupan laut dan pulau. Orang pintar sekarang bilang konservasi. Hal ini telah lama terpatri di hati dan menjadi pola tingka laku kawasan baru meose (masyarakat di pulau Aimando).
Selain itu, kata Arni Wakum( 43 tahun), dari Kampung Pasi, saya ini dulu tukang buang bom dan perusak lingkungan, tapi sadar karena bapak nabi mengejar saya dan membimbing saya, akhirnya sekarang saya menjadi penjaga lingkungan dan harus mewariskan lingkungan kepada keturunan dan generasi yang akan datang. “Soren irawa me kantor inggo bediri (laut adalah kantor kami), inggo sun ro arwo oras war ma mandira. Rasnoido inggro soren ras ri suru (laut itu kantor kami. Kami masuk pukul 8.00 pagi, bisa juga pada sore hari. Ada kalanya dua malam kami berkantor di laut)” ujar Arni Wakum sambil senyum simpul dan menikmati pinang.
Dengan demikian kandungan filosofi, syowi, yawek, baba oserm, kayam kame, merupakan nilai yang mengilhami dan mengarahkan masyarakat adat berpandangan konservasi.
Di kemudian hari terjadi pertempuran di laut dengan menggunakan bom, potasium/sianida, tetapi juga ada penyelam-penyelam handal dengan kompresor, yang lebih dasyat adalah kapal nelayan buton, kebijakan pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan pendapatan daerah maka menggerakkan kapal-kapal ikan melewati batas-batas yang diatur pertaturan perundang-undangan.
Inikah yang dimaksudkan dengan kemajuan tekonologi dan kebijakan negara? Yang telah secara sengaja merusak alam lingkungan, ekosistem, ikan, biota laut yang mengakibatkan masyarakat pulau menerima kesengsaraan dan kini menyebabkan pola-pola pendekatan baru untuk mengembalikan alam yang rusak, ekosistem yang terganggu dan ikan berkurang. Maka kita membutuhkan pola pendekatan baru, yaitu konservasi sebagai jawabannya. (Hofni Simbiak/ILLMA/Krist A)