“Sebagai manusia, apakah kita sudah merdeka?”
Jakarta, NGK – Teater Koma kembali mentas. Lakonnya keren, Matahari Papua. Tiga hari berturut-turut, Jumat-Minggu, 7-9 Juni 2024, Matahari Papua akan digelar di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat. “Sebagai manusia, apakah kita sudah merdeka?” Itu pertanyaan besar Ratna Riantiarno tentang Matahari Papua tersebut.
Kemerdekaan Sebagai Manusia
Teater Koma sesungguhnya adalah matahari. Ia menerangi, sekaligus mencerahkan. Apa sebenarnya yang hendak disampaikan Teater Koma dalam Matahari Papua? “Ini tentang kemerdekaan. Baik secara universal maupun individual. Sebagai bangsa dan negara, kita tentu saja sudah merdeka. Tapi, sebagai manusia, apakah kita sudah merdeka?” tanya Ratna Riantiarno.
Pertanyaan Ratna Riantiarno tersebut, adalah pertanyaan Nano Riantiarno, penulis naskah Matahari Papua. Kita tahu, Nano Riantiarno -lengkapnya Norbertus Riantiarno- adalah aktor sekaligus pendiri Teater Koma. Ia meninggal dunia pada Jumat, 20 Januari 2023, pukul 06:38 WIB di Jakarta.
Dan, naskah Matahari Papua adalah naskah terakhir yang ditulis Nano Riantiarno, sebelum ia wafat. Naskah ini pertama kali ditulis tahun 2014, sebagai naskah pendek untuk pertunjukan bertajuk Cahaya dari Papua. Naskah itu dipentaskan 2 kali di Auditorium Galeri Indonesia Kaya Jakarta. Pertama, pada Sabtu, 27 Desember 2014 dan kedua, pada Sabtu, 12 Desember 2015.
Pertunjukan berdurasi 50 menit tersebut, secara langsung disutradarai oleh Nano Riantiarno. Cahaya dari Papua berkisah tentang teror seekor naga jahat terhadap Tanah Papua. Banyak yang menjadi korban. Seluruh makanan, misalnya, dimonopoli oleh sang naga. Tak ada yang berani melawan.
Naga? Ada kah naga di Tanah Papua? Ratna Riantiarno meyakinkan, “Ada. Ada naga di Tanah Papua,” ujar Ratna, dalam konferensi pers Matahari Papua di Auditorium Galeri Indonesia Kaya Jakarta, pada Sabtu, 29 Mei 2024 lalu. Nano Riantiarno, menurut penuturan Rangga Riantiarno yang menjadi sutradara Matahari Papua, terinspirasi dari kisah seorang pemuda Tanah Papua bernama Biwar, yang membalas dendam kepada Naga.
Nah, naskah Matahari Papua tersebut merupakan pengembangan dari naskah Cahaya dari Papua. Pengembangan naskah tersebut sudah dimulai Nano Riantiarno, sejak tahun 2020. Jika pada awalnya durasinya 50 menit, maka Matahari Papua berdurasi 2 jam 15 menit, tanpa interval.
Naskah Matahari Papua pada tahun 2022, diikutkan oleh Nano Riantiarno dalam Rawayan Award, suatu Sayembara Penulisan Naskah yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta. Naskah itu dikirimkan Nano Riantiarno secara anonim. Maksudnya, di naskah tersebut, tidak dicantumkan nama Nano Riantiarno sebagai penulisnya. Ternyata, naskah Matahari Papua terpilih sebagai salah satu pemenang di Rawayan Award itu.
Kolaborasi Tiga Riantiarno
Ada tiga Riantiarno di Matahari Papua. Pertama, Nano Riantiarno. Kedua, Ratna Riantiarno yang merupakan istri Nano Riantiarno. Ketiga, Rangga Riantiarno, anak dari pasangan tersebut. Rangga adalah sutradara Matahari Papua, yang akan dipentaskan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, tersebut.
Rangga Riantiarno menuturkan, “Di naskah Cahaya dari Papua, musuh yang dihadapi Biwar, hanya Naga. Di Matahari Papua, musuh Biwar bertambah. Ada buaya, tiga biawak, burung hitam, dan yang lainnya.” Kehadiran musuh-musuh Biwar tersebut, tentu saja membuat pertunjukan Matahari Papua menjadi lebih dinamis dan atraktif.
Biwar sebagai sosok anak Tanah Papua, sesungguhnya sedang melakukan balas dendam terhadap Naga. Karena, saat Biwar dalam kandungan, ayahnya dibunuh oleh Naga. Untung, sang ibu selamat, hingga Biwar lahir dan tumbuh menjadi pemuda, yang kemudian membalaskan dendam ayahnya.
Naga yang menjadi musuh utama Biwar, diwujudkan dalam ukuran yang gede banget.
Ratna Riantiarno menyebutkan, “Salah satu prinsip yang ditanamkan Nano Riantiarno di Teater Koma adalah properti pementasan harus dibuat. Sedapat mungkin, multi media diminimalkan.”
Namun, karena kini adalah era multi media, tentu saja pementasan Matahari Papua tak bisa dilepaskan dari teknologi panggung yang ciamik tersebut. Warna-warni kostum pemain akan berkolaborasi dengan tata cahaya multi media, yang akan menjadi bagian dari semarak Matahari Papua.
Matahari Papua adalah produksi ke-230 Teater Koma. Sejak didirikan pada 1 Maret 1977 hingga sekarang, Teater Koma terus berkarya, menginspirasi masyarakat Indonesia melalui pertunjukan teater. Dari 47 tahun perjalanan Teater Koma, 20 tahun lebih di antaranya, Teater Koma didukung penuh oleh Bakti Budaya Djarum Foundation.
Renitasari Adrian selaku Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation, menyebut, “Dukungan ke Teater Koma adalah bagian dari wujud dukungan Bakti Budaya Djarum Foundation kepada ekosistem seni pertunjukan di Indonesia.” Ia menilai, Nano Riantiarno adalah salah satu sosok Bapak Teater Indonesia, yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk teater.
Video selengkapnya
https://youtu.be/XDauMiXtemo?si=E89tjMFv4PTmMmh4
salam dari saya Isson Khairul