
TIMIKA (10/9/25), NGK – Wakil Bupati Mimika, Emanuel Kemong dan Ketua DPRK Mimika, Primus Natikapereyau meminta kepada masyarakat yang memalang Jalan Poros menuju Pelabuhan Pomako, segera dibuka karena sangat merugikan kepentingan umum.
Emanuel Kemong dan Primus Natikapereyau menyampaikan hal ini ketika bertatap muka dengan anggota Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) Pelabuhan Pomako yang melakukan pemalangan. Pertemuan ini dilakukan di Kantor Distrik Mimika Timur, Rabu (10/9/2025).
Hadir dalam pertemuan itu, Pj Sekda Abraham Kateyau, Kepala Distrik Mimika Timur Bakri Athoriq, Kaposek Mimika Timur Ipda Alex Soumilena dan sejumlah anggota TKBM, serta perusahaan yang mengklaim sebagian pemilik tanah pelabuhan yaitu PT Barthu Langgeng Abadi yang diwakili Iwan.

Pertemuan yang dibuka oleh Pj Sekda Abraham Kateyau lalu diberi kesempatan untuk Wakil Bupati dan Ketua DPRK Mimika untuk berdialog dengan masyarakat. “Saya berharap, pertemuan ini dapat berjalan dengan baik dan damai,” pintah Abraham Kateyau.
Setelah itu, Wakil Bupati Mimika, Emanuel Kemong dengan tegas menyatakan, ia mau mendengar langsung dari masyarakat, tentang pemalangan jalan.
“Saya, datang ke sini untuk bertemu masyarakat dan mau mendengar duduk persoalan pemalangan, bukan untuk bertemu dan bicara dengan perusahaan. Saya mau bertanya kepada masyarakat, mengapa kalian palang pelabuhan. Sedangkan urusan dengan perusahaan, lagi dibicarakan di Jakarta antara Kementerian Perhubungan, Bupati Mimika, dan perwakilan PT Bartuh Langgeng Abadi. Jadi urusan dengan perusahaan silahkan tanya ke Jakarta. Saya juga mendengar, ada perusahaan yang menggembok pintu pelabuhan atau tanah miliknya,” tegas Emanuel Kemong.

Dalam pertemuan itu, Wakil Bupati Mimika berulang kali menegaskan untuk tidak mau bicara dengan perusahaan. “Saya mau bicara dengan masyarakat supaya membuka palang karena pemalangan ini sangat menganggu kepentingan umum,” kata Wakil Bupati.
Sementara itu, Ketua DPRK Mimika, Primus Natikapereyau menjelaskan, tindakan pemalangan ini telah menghambat distribusi barang yang masuk ke Timika sehingga sangat merugikan masyarakat.
“Kalau pemalangan ini terus dilakukan, nanti orang lain rugi. Apalagi lagi, menyuruh kapan-kapal yang membawa kontainer untuk kembali, nanti kita semua rugi. Orang lain di luar Timika yang untung. Jadi aktivitas pelabuhan seperti bongkar muat barang, harus tetap berjalan seperti biasa,” ujar Primus Natikapereyau.

Setelah mendengar arahan dari Wakil Bupati dan Ketua DPRK, lalu Ketua Satu Koperasi TKBM Pomako, Kornelis Amimar menjelaskan, bahwa pemalangan di Jalan Poros menuju Pelabuhan Pomako ini dilakukan TKBM.

“Kami cari makan sebagai tenaga kerja di pelabuhan. Kami palang karena PT Bartuh Langgeng Abadi menggembok pintu masuk-keluar pelabuhan sehingga tidak ada kontainer yang bisa masuk dan keluar pelabuhan. Kalau tidak ada aktivitas bongkar muat di pelabuhan, kami tidak kerja dan kami tidak makan,” ungkap Kornelis Amimar.
Pemalangan ini dipicu oleh sengketa lahan antara Pemerintah Kabupaten Mimika dengan pihak swasta. Pemerintah Kabupaten Mimika kalah dalam gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura, tahun 2024.
Menurut Bank Data New Guinea Kurir, Pemerintah Kabupaten Mimika telah membeli tanah seluas 500 hektare untuk pembangunan pelabuhan.
Tampaknya, dalam surat pelepasan tanah ada perbedaan persepsi. Dalam surat pelepasan tanah kepada pemerintah ditulis tanah tersebut perbatasan sebelah utara barat laut semua berbatasan dengan laut, mungkin pengertian masyarakat pada saat itu yg dibilang sungai adalah laut, padahal sebenarnya itu adalah sungai dan tanah itu adalah di tempat yang sekarang menjadi pelabuhan.
Dan untuk kepentingan pelabuhan, pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan membangun dermaga di atas tanah 500 hektare. Kemudian jalan Nasional dari Timika menuju pelabuhan juga dibangun oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan selesai tahun 2004.

Tapi muncul klaim kepemilikan dari sejumlah pihak sehingga sertifikat tidak bisa diterbitkan. Hal itu diperparah dengan status tanah yang masuk kawasan hutan lindung, sehingga pemerintah kabupaten Mimika harus mengajukan perubahan status lahan ke Kementerian Kehutanan. Dari proses itu, pemerintah berhasil menurunkan status lahan dan memperoleh sertifikat untuk 11,7 hektare yang kini digunakan sebagai depo kontainer, kantor polisi, KP3U laut, warung, gudang, hingga area parkir.
Namun PT Bartuh Langgeng Abadi menggugat ke PTUN Jayapura dan memenangkan perkara, sehingga sertifikat 11,7 hektare milik Pemkab Mimika dibatalkan.
Pemerintah Kabupaten naik banding ke Mahkamah Agung pun tetap kalah. Keputusannya, tanah tersebut milik PT Bartuh Langgeng Abadi dan Sertifikat atas nama Pemerintah Kabupaten Mimika dibatalkan.

Meski begitu, fungsi pelabuhan harus berjalan. Aktivitas bongkar muat di pelabuhan harus berjalan karena penyegelan yang dilakukan PT Bartuh Langgeng Abadi bukan terhadap pelabuhan, tapi penyegelan kantor dari tiga perusahaan peti kemas. (tob)