Warinussy: Perbuatan pidana penegakan hukum yang digunakan BBKSDA, tidak proporsional karena tidak jelas bukti dari sebuah proses hukum.
JAYAPURA (23/10/25), NGK – Gara-gara tindakan pemusnahan opset dan mahkota burung cenderawasih yang dilakukan pada 20 Oktober 2025, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua, “diserang” dengan berbagai kritik lantaran BBKSDA dinilai, telah mengabaikan budaya masyarakat Papua.
Serangan itu muncul dari berbagai komponen masyarakat se Tanah Papua. Mulai dari lembaga adat aktivis lingkungan hingga mahasiswa. Salah satu serangan itu, muncul dari Dewan Adat Papua (DAP).
Ada indikasi perbuatan pidana penegakan hukum yang digunakan BBKSDA, tidak proporsional, karena tidak jelas bukti dari sebuah proses hukum.
“Tindakan Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua Johny Santoso Silaban bersama staf dan pihak lain dari Polri dan TNI dengan membakar mahkota adalah jelas merupakan suatu bentuk tindakan pelecehan terhadap nilai-nilai budaya Orang Papua Asli, sekaligus terdapat indikasi perbuatan pidana,” tegas Sekretaris Jenderal Dewan Adat Papua (Sekjen DAP), Yan Christian Warinussy melalui rilisnya yang dikirim ke NGK pada 22 Oktober 2025.
Warinussy menjelaskan, alasan penegakan hukum yang digunakan, tidak proporsional, karena tidak jelas bukti dari adanya sebuah proses hukum. Misalnya ada berita acara penyitaan dari pihak yang telah diduga keras melakukan pelanggaran hukum. Kemudian tidak jelas bukti bahwa ada pihak yang menjadi telapor dengan tahapan proses hukum yang telah dilalui hingga terjadi keputusan penyitaan sampai kepada pemusnahan tersebut.
“Jadi, alasan penegakan hukum yang sedang dilakukan oleh BBKSDA Papua tidak dapat diterima dan DAP mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) di Jayapura dan Provinsi Papua agar segera melakukan penyelidikan hingga memanggil dan memeriksa para pelaku pembakaran terhadap mahkota Burung Cenderawasih dan Burung Kasuari tersebut,” pinta Sekjen DAP yang juga Advokad senior di Tanah Papua itu.
Menurut Sekjen DAP, mereka yang terlibat dalam pembakaran mahkota Burung Cenderawasih dan Burung Kasuari tersebut mesti dilakukan tindakan hukum penyelidikan dan jika terdapat cukup bukti menurut hukum pidana, maka dapat ditetapkan sebagai tersangka.
“Untuk mempermudah proses penegakan hukum, dapat dilakukan upaya-upaya paksa melalui penangkapan dan penahanan menurut Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),” kata Yan Warinussy.
DAP sangat tidak sependapat dengan peristiwa pelanggaran hukum dan norma adat istiadat Orang Papua Asli melalui pembakaran mahkota Burung Cenderawasih dan Burung Kasuari tersebut.
Untuk itu, Advokat Manokwari Bersatu (AMB) menyampaikan bahwa para Advokat sebagai Penegak Hukum berdasarkan amanat pasal 5 ayat (1) Undang Undang Republik Indonesia Nomor : 18 Tahun 2003 Tentang Advokat akan mengambil langkah hukum terhadap saudara Johny Santoso Silaban (Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam/BBKSDA) Provinsi Papua.
“Tindakan saudara Silaban dalam kapasitas sebagai Kepala BBKSDA Provinsi Papua beserta jajaran TNI, Polri dan beberapa oknum jurnalis, jelas-jelas sekali telah melukai perasaan masyarakat adat Papua secara luas. Ganjaran yang mesti diperoleh Silaban dan kawan-kawannya adalah gugatan secara hukum perdata ke pengadilan. Bahkan Laporan Polisi menurut hukum pidana mesti ditempuh. Oleh sebab itu, AMB akan tampil di depan sebagai wadah berhimpunnya para advokat di Manokwari, Provinsi Papua Barat. Kami akan mengambil langkah tegas dan terukur menurut hukum pidana, perdata bahkan hukum administrasi negara terhadap Kepala BBKSDA Provinsi Papua dan jajaran serta mitranya tersebut dalam kasus membakar mahkota dari Burung Cenderawasih tersebut,” kata Warinusi.
Menanggapi berbagai serangan itu, BBKSDA) Papua menyampaikan klarifikasi dan permohonan maaf atas tindakan pemusnahan opset dan mahkota burung cenderawasih.
Kepala BBKSDA Papua, Johny Santoso, S.Hut., M.Agr., mengatakan pihaknya menyadari langkah tersebut menimbulkan kekecewaan di kalangan masyarakat Papua. Namun, ia menegaskan bahwa tindakan itu murni dilakukan dalam rangka penegakan hukum dan tidak bermaksud mengabaikan nilai budaya masyarakat adat.
“Langkah ini bukan untuk mendiskreditkan nilai budaya masyarakat Papua. Justru kami ingin menjaga kelestarian serta kesakralan cenderawasih sebagai simbol identitas masyarakat Papua,” ujar Johny dalam keterangan tertulis di Jayapura, Selasa (22/10/2025).
Menurutnya, pemusnahan dilakukan sesuai mandat Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta mengacu pada PermenLHK Nomor P.26/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2017 tentang penanganan barang bukti tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan.
Kegiatan tersebut merupakan bagian dari Patroli Terpadu Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) Ilegal dan Tindak Pidana Kehutanan (Tipihut) yang digelar 15–17 Oktober 2025 di Jayapura, Kabupaten Jayapura, dan Keerom. Dari hasil patroli, disita 58 ekor satwa liar dilindungi dalam keadaan hidup serta 54 opset satwa mati, termasuk opset dan mahkota burung cenderawasih kecil (Paradisaea minor).
Johny menjelaskan, keputusan pemusnahan diambil setelah mempertimbangkan hasil musyawarah tim patroli, permintaan kelompok masyarakat agar barang tidak disalahgunakan, serta upaya memutus rantai perdagangan ilegal burung cenderawasih. (ka)
 
            








