*Oleh: Dr. Ir. Agus Sumule
Pendahuluan
PAPUA adalah salah satu wilayah paling kaya budaya dan paling menantang secara geografis di Indonesia. Di wilayah ini terdapat kurang lebih 7.548 kampung, terpencar dari pesisir hingga pegunungan tinggi, dari pulau-pulau kecil hingga lembah terisolasi.
Banyak dari kampung-kampung ini tidak berdekatan satu sama lain, dan sebagian hanya dapat dicapai melalui perjalanan berjam-jam dengan perahu, berjalan kaki, atau menggunakan pesawat kecil. Namun di kampung-kampung inilah sebagian besar orang asli Papua tinggal, hidup, dan membesarkan keluarga mereka.
Dalam konteks ini, penyediaan layanan kesehatan yang adil dan bermutu bukan hanya sebuah kewajiban administratif, tetapi tanggung jawab moral dan konstitusional negara. Setiap warga negara—di mana pun ia berada—berhak memperoleh layanan kesehatan yang layak. Untuk Papua, kebutuhan ini menjadi jauh lebih mendesak.
Ketimpangan Tenaga Kesehatan: Masalah Bukan pada Jumlah, tetapi Distribusi
Jika dilihat dari angka total, sebenarnya Papua tidak kekurangan tenaga kesehatan. Data BPS pada tahun 2024 menunjukkan bahwa terdapat 8.159 bidan dan 15.197 perawat di seluruh wilayah Papua. Secara teori, angka ini cukup untuk memenuhi kebutuhan minimal satu bidan dan satu perawat untuk setiap kampung. Namun kenyataannya berbeda: tenaga kesehatan tersebut terkonsentrasi di daerah perkotaan, sementara kampung-kampung terpencil—tempat mayoritas penduduk asli Papua tinggal—justru kekurangan.
Inilah akar persoalan utama: ketimpangan distribusi tenaga kesehatan. Dampaknya sangat nyata. Usia Harapan Hidup (UHH) di provinsi-provinsi Papua tertinggal jauh dibanding rata-rata nasional yang mencapai 74,1. Angkanya adalah sebagai berikut: Papua Barat: 68,47; Papua Barat Daya: 70,02; Papua: 70,47; Papua Selatan: 68,46; Papua Tengah: 68,18; dan Papua Pegunungan: 67,34.
UHH yang rendah mencerminkan masalah serius dalam akses layanan kesehatan dasar, gizi, sanitasi, serta penanganan penyakit menular dan tidak menular. Bila keadaan ini terus berlanjut, kesenjangan antara Papua dan wilayah lain di Indonesia akan semakin dalam.
Kader Kesehatan Kampung: Solusi Lokal yang Realistis dan Berkelanjutan
Dalam kondisi geografis Papua yang ekstrem dan keterbatasan infrastruktur dasar, memaksakan pendekatan kesehatan yang sepenuhnya bergantung pada kehadiran tenaga profesional adalah strategi yang tidak realistis. Maka dari itu, solusi yang paling dapat diandalkan adalah memberdayakan kader kesehatan kampung.
Kader kesehatan adalah anggota masyarakat kampung yang dilatih untuk menjalankan tugas-tugas kesehatan dasar. Dengan pelatihan yang tepat, mereka dapat:
- Mengelola posyandu, termasuk dalam hal pengukuran berat badan, tinggi badan, dan lingkar lengan atas.
- Mencatat hasil pemantauan gizi dalam Kartu Menuju Sehat (KMS)
- Memberikan edukasi tentang makanan bergizi, kebersihan, dan kesehatan ibu dan anak.
- Melakukan Pemberian Makanan Tambahan (PMT).
- Memantau tanda-tanda penyakit menular dan melaporkannya secara cepat.
- Menjadi penghubung antara masyarakat kampung dan tenaga kesehatan formal
Dengan kata lain, kader kesehatan dapat menjadi tulang punggung pelayanan kesehatan preventif di Papua.
Di setiap kampung di Papua pasti ada institusi keagamaan, khususnya gereja. Para kader kesehatan bisa diperoleh di lembaga-lembaga keagamaan seperti ini. Tidak saja mereka memiliki panggilan moral yang lebih besar untuk membantu orang lain yang membutuhkan, tetapi mereka juga umumnya bisa membaca dan menulis — hal penting bagi suksesnya peran seorang kader kesehatan.
Teknologi sebagai Jembatan: Internet untuk Layanan Kesehatan Real-Time
Untuk memperkuat peran kader kesehatan, setiap kampung perlu dilengkapi dengan sarana komunikasi berbasis internet—misalnya internet satelit seperti Starlink atau alternatif lokal yang berfungsi stabil.
Teknologi ini memungkinkan beberapa hal penting:
- Konsultasi kesehatan real-time antara kader kampung dan dokter atau perawat di Puskesmas, Pustu, bahkan di rumah sakit kabupaten.
- Deteksi dini masalah kesehatan seperti gizi buruk, demam berbahaya, atau wabah penyakit.
- Pencatatan kesehatan digital, yang mempermudah pemerintah mengambil keputusan berbasis data.
- Mobilisasi cepat tenaga kesehatan profesional ketika ada kasus yang membutuhkan penanganan langsung.
Dengan teknologi komunikasi, jarak tidak lagi menjadi hambatan absolut. Kampung-kampung terpencil bisa memperoleh akses kesehatan berkualitas tanpa harus menunggu kedatangan tenaga medis yang jumlahnya terbatas.
Mengapa Pemerintah Harus Bertindak Sekarang?
Gagasan pemberdayaan kader kampung dan pemanfaatan teknologi bukan sekadar strategi teknis.
Ini adalah langkah penting untuk:
- Menjamin hak dasar masyarakat asli Papua atas kesehatan yang layak.
- Meningkatkan UHH dan mengurangi kesenjangan antarwilayah.
- Memperkuat sistem kesehatan yang tahan terhadap krisis, termasuk bencana dan wabah.
- Menghemat biaya jangka panjang, karena pencegahan selalu lebih murah daripada pengobatan.
- Memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah
Jika pemerintah ingin benar-benar mewujudkan pembangunan yang inklusif, maka Papua harus diletakkan sebagai indikator keberhasilan. Bila kampung-kampung paling terpencil di Papua dapat dijangkau layanan kesehatan bermutu, maka seluruh Indonesia dapat mencapainya.
Penutup: Seruan untuk Kebijakan yang Berpihak
Papua membutuhkan pendekatan kesehatan yang berbeda—lebih manusiawi, lebih adaptif, dan lebih memberdayakan. Dengan mendistribusikan tenaga kesehatan secara lebih merata, memberdayakan kader kampung, dan memanfaatkan teknologi komunikasi modern, layanan kesehatan bermutu dapat menjangkau semua kampung tanpa kecuali.
Sudah saatnya pemerintah melihat bahwa pembangunan kesehatan di Papua bukan hanya masalah anggaran, tetapi komitmen moral untuk memastikan tidak ada satu pun warga negara yang tertinggal.
Kesehatan yang layak bagi seluruh kampung di Papua bukanlah mimpi. Ia sepenuhnya mungkin diwujudkan — asal ada kemauan politik dan kebijakan yang berpihak pada rakyat paling jauh di ujung negeri. ***
*Gagasan dan argumentasi dasar dalam artikel ini ditulis oleh Dr. Ir. Agus Sumule, Dosen di Universitas Papua di Manokwar, Papua Barat dan Pengayaan dilakukan oleh AI ChatGPT.









