Oleh : Ruben Cornelius Siagian (*)
POTRET terbaru Sjafrie Sjamsoeddin sebagai Menteri Pertahanan memperlihatkan satu kenyataan pahit yang enggan kita akui, bahwa Indonesia masih gamang memisahkan disiplin militer dari etika administrasi sipil.
Sjafrie Sjamsoeddin tampil bak komandan yang memasuki ruang demokrasi dengan penuh dengan instrumen hukum, prosedur administratif, dan mekanisme koordinasi, tetapi masih membawa napas operasi lapangan yang serba cepat, serba perintah, serba “tembak dulu, klarifikasi belakangan”. Dan inilah yang memicu titik panas dalam polemik Bandara IMIP Morowali.
Pernyataan publiknya mengenai “anomali bandara”, penekanan bahwa fasilitas itu seolah berjalan tanpa negara, dan desakan pembatalan status internasional muncul bukan sebagai hasil audit, melainkan sebagai serangan verbal yang mendahului prosedur. Dalam Frasa internasional punya istilah untuk fenomena ini, yaitu executive overreach, Bahwa ketika pejabat eksekutif menggunakan legitimasi jabatan untuk mendefinisikan masalah, sebelum bukti administratif dirilis ke public (Posner dan Vermeule, 2007). Padahal secara faktual, bandara tersebut terdaftar sebagai bandara khusus yang memang tunduk pada rezim regulasi berbeda. Ketidaksinkronan data antarkementerian bukan hal baru di Indonesia, tetapi cara Sjafrie memframingnya menunjukkan persoalan lebih dalam, yaitu sebuah kementerian pertahanan yang masih menganggap “keamanan” lebih utama daripada “ketertiban hukum”.
Dalam praktik internasional, narasi ancaman terhadap kedaulatan selalu harus tunduk pada prinsip transparency first, assertion later (Bianchi dan Peters, 2013). Yang terjadi justru kebalikannya. Ketika Menhan mempublikasikan potensi “kebocoran kedaulatan” tanpa dasar yang dapat diaudit publik, itu bukan hanya mengguncang investor dan menambah ketidakpastian hukum, tetapi juga mengondisikan publik untuk menerima langkah ad hoc sebagai solusi keamanan. Ini berbahaya. Negara yang terlalu sering menggunakan retorika ancaman justru membuka ruang bagi politisasi keamanan, bahwa sesuatu yang sudah lama menjadi peringatan lembaga internasional dalam negara dengan sejarah ketegangan sipil-militer.
Tidak bisa dimungkiri, bayang-bayang masa lalu Sjafrie menempel ketat pada setiap kebijakan yang ia buat. Karier panjangnya di Kopassus yang beririsan dengan operasi Timor Timur dan turbulensi 1998 secara politik menempatkannya dalam kategori pejabat high-risk accountability, yakni pejabat yang memerlukan tingkat transparansi ekstra untuk meyakinkan publik sipil bahwa kepemimpinannya kini tunduk pada norma demokrasi. Namun hingga hari ini, tidak ada satu pun mekanisme publik yang menunjukkan bahwa kementerian pertahanan berupaya mengelola warisan kontroversial itu. Dunia internasional punya standar jelas, yaitu pejabat dengan rekam jejak operasi keras harus melalui proses verifikasi, disclosure, atau paling tidak dukungan eksplisit terhadap investigasi historis, bahwa bukan demi menghukum masa lalu, tetapi demi menghindari erosi legitimasi di masa kini.
Masalahnya, tanpa langkah-langkah itu, setiap tindakan keras mudah dibaca sebagai kelanjutan pola lama, bahwa pendekatan keamanan yang menempatkan negara sebagai aparat koersif, bukan sebagai institusi hukum. Itulah mengapa reaksi publik terhadap kasus IMIP bukan sekadar soal bandara. Ini soal kembali terkuaknya relasi sipil-militer yang belum selesai pulih sejak reformasi.
Dan ancaman terbesar bukan berasal dari satu kebijakan atau satu menteri, tetapi dari pola baru yang mulai terbentuk, yaitu penggunaan isu “kedaulatan” sebagai justifikasi untuk mengabaikan prosedur. Jika ini dibiarkan, Indonesia akan menghadapi beberapa risiko jangka menengah hingga panjang.
- Pertama, risiko policy volatility, di mana kebijakan strategis dapat berubah hanya karena persepsi ancaman seorang pejabat, yaitu bukan hasil koordinasi lintas lembaga.
- Kedua, delegitimasi hukum administratif, sebab masyarakat dan pelaku usaha memperoleh pesan bahwa izin dan regulasi bisa dinolkan oleh satu statement politik.
- Ketiga, dan paling mengkhawatirkan, re-radialisasi peran militer dalam ruang sipil, yang secara diam-diam menggerus prinsip dasar demokrasi, bahwa kekuasaan pertahanan tunduk pada kerangka hukum sipil, bukan sebaliknya.
Di era geopolitik yang kian kompleks, Indonesia tidak membutuhkan retorika keras yang memperuncing kecemasan. Yang kita butuhkan adalah ketegasan yang terukur, bukan teater kekuasaan; pengawasan yang rapi, bukan tuduhan mendadak; koordinasi yang transparan, bukan klaim unilateral. Sjafrie, dengan seluruh beban sejarahnya, seharusnya menjadi contoh reformasi institusional, bukan pengingat bahwa residu mentalitas militer masih bercokol dalam kabinet.
Kita perlu mengingatkan betapa mahalnya harga sebuah negara jika tata kelola keamanan dikembalikan ke logika operasi, alih-alih logika hukum. Kita perlu pejabat pertahanan yang mampu memisahkan antara “musuh negara” dan “kekacauan administratif”, antara “kedaulatan yang bocor” dan “koordinasi yang buruk”, antara “ancaman” dan “asumsi ancaman”. Jika garis tipis ini terus dicampur aduk, Indonesia bukan sedang memperkuat pertahanannya, melainkan justru sedang membuka pintu bagi ketidakstabilan regulasi, konflik kepentingan antarinstansi, dan menurunnya kepercayaan publik serta investor.
Dan pada akhirnya, sejarah akan mencatat bukan seberapa keras seorang menteri berteriak soal kedaulatan, tetapi seberapa disiplin ia memastikan negara berjalan melalui hukum, bukan ketakutan. ***
Referensi
Bianchi, A. dan Peters, A. (2013) Transparency in international law. Cambridge University Press.https://www.cambridge.org/core/books/transparency-in-international-law/DE5A935628E3EFFCE20EFAEB0B4CB47F
Posner, E.A. dan Vermeule, A. (2007) “The credible executive,” U. Chi. L. Rev., 74, hlm. 865. https://chicagounbound.uchicago.edu/uclrev/vol74/iss3/2/
(*) Ruben Cornelius Siagian adalah peneliti muda yang memiliki jejak publikasinya tersebar di jurnal nasional terakreditasi, prosiding internasional, hingga buku. Di luar laboratorium, Ruben aktif menulis opini di berbagai media nasional dengan fokus pada geopolitik, pertahanan, integritas riset, fiscal policy, hingga demokrasi substantif. Gaya tulisannya kritis namun tetap berbasis argumen ilmiah.








