Beranda Kabar dari Kampung (KDK) Kebangkitan atau Kematian Masyarakat Adat (2)

Kebangkitan atau Kematian Masyarakat Adat (2)

669
0
BERBAGI

Catatan dari Diskusi Dua Orang Sahabat (2-Habis)

Dusun Sagu dibabat, jalan alternatif dibuka. (Foto : Lien Maloali)

BELUM hilang dari ingatan, diakhir tahun 2012, seorang aktivis LSM bernama Mathius Awoitauw dilantik menjadi Bupati di Kabupaten Jayapura. Sebagai orang yang idealis, segala harapan tertumpuk kepada sang bupati yang satu ini.

Wajar saja kalau segala harapan itu, termasuk harapan dari masyarakat adat yang tertumpuk kepada Mathius Awoitauw, karena ia telah berjanji kepada rakyat untuk memperjuangkan eksistensi masyarakat adat dan sistem pemerintahan adat dalam struktur pemerintahan di Kabupaten Jayapura.

Pada 24 Oktober 2013, masyarakat adat berkumpul di Sentani dan mereka mengambil sikap untuk mengatur dirinya sendiri dalam satu sistem pemerintahan adat di Kampung. Mereka berharap untuk mengatur daerahnya sendiri dan mengatur masa depannya sendiri.

Menurut Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw, masyarakat adat ini punya kekuatan yang luar biasa. “Mereka memiliki organisasi, tanah dan sumber daya alam serta mereka mempunyai masyarakat adat. Mereka sangat yakin, karena sebelum ada pemerintah mereka yang mengatur dan membangun daerah ini. Karena itu, pada 24 Oktober 2013, mereka menyatakan sikap, bahwa kami bisa membangun daerah ini.  Di sinilah ditentukan sebagai tanggal Kebangkitan Kelembagaan Masyarakat Adat Kabupaten Jayapura.

Kini sudah tujuh tahun, kelembagaan masyarakat adat Kabupaten Jayapura hadir untuk menemukan jati dirinya. Bahkan jauh sebelum tahun 2013, yaitu sekitar tahun 2015, masyarakat adat sudah memulai memperjuangkan jati dirinya.

Menurit penelusuran New Guinea Kurir (NGK), sekitar tahun 2008, masyarakat adat perna menyusun konsep pemerintahan asli (adat) di kampung. Saat itu, mereka didampingi sejumlah NGO dan sejumlah akademika dari Uncen. Mereka membawa konsep itu ke DPRD Kabupaten Jayapura dan para wakil rakyat berjani untuk membahas, tapi kenyataanya, tidak jelas.

Hari ini, di Kabupaten Jayapura, sudah ada 14 kampung adat yang sudah berubah status dari kampung atau desa seperti di Indonesia lainnya menjadi kampung yang dikelola oleh sistem adat sendiri.

Menurut Kristian Epa, perjuangan ini memerlukan waktu yang luar biasa, karena disaat mereka memperjuangakan jati dirinya, sesuai dengan UU Otsus, tapi disisi lain, orang lain ribut dengan uang Otsus. “Di situlah perjuangan atau tantangan masyarakat adat,” kata Kristian Epa, sahabatku yang sudah 20 tahun lebih melanglang buana dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan di kawasan Pegunungan Tengah, Papua.

Sementara itu, Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw menyatakan, hari ini, Pemerintah Pusat sudah memberikan perhatian yang luar biasa.  Pemerintah Pusat telah mendampingi untuk mewujudkan kampung-kampung adat di Kabupaten Jayapura. “Begitu aspirasinya mengalir luar biasa sehingga semua kampung di Kabupaten Jayapura mau dijadikan kampung adat,” kata Mathius.

Mathius menjelaskan, bahwa tim di kabupaten perlu melakukan indentifikasi terhadap kampung-kampung, supaya tidak menjadi masalah adat di kemudian hari.

“Kampung itu harus benar-benar asli. Sebab satu kampung yang mau jadi kampung adat, harus jelas asal usul, harus jelas sejarahnya tentang kampung itu.  Sejarah asal usul ini yang akan memberikan kesempatan, akan memberikan kepastian, bahwa mereka mula-mula menduduki di kampung ini dan mereka punya cerita itu dan diakui oleh kampung-kampung di sekitarnya,” ungkap Mathius.

Mathius membeberkan, ada sejumlah regulasi yang sudah ada. Baik itu dari UUD 1945 Pasal 18b, UU termasuk UU Otsus, ada sejumlah Perdasus . Semua regulasi ini memberi ruang.

“Perlu kita pertajam lagi dan perjuangkan terus, sebab kalau tidak diperjuangkan, kita akan kehilangan jati diri kita yaitu adat istiadat, berarti kita kehilangan masa depan tentang Papua.  Dan ini harus menjadi satu pergumulan kita bersama,” tegas Mathius.

Tampaknya, dusun sagu terus ditebas untuk kepentingan PON XX, sementara kelembagaan masyarakat adat pun tak jelas cantolan hukumnya, sehingga rencana pemerintah untuk menjadikan 14 kampung adat, masih perlu perjuangan keras.

Semoga dusun sagu dikembalikan, dan sistem pemerintahan adat di 14 kampung, dapat terealisasi.  (Kris Ansaka – Habis)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here