Jayapura, NGK — GEMAH pembangunan Kampung di Kabupaten Jayapura sudah dimulai sejak tahun 2001. Dan gemah itu berubah menjadi sebuah gerakan pembangunan kampung sejak 2006. Kemudian sejak 2012, gerakan pembangunan
kampung itu dipadukan dengan perberdayaan kampung adat.
Menurut salah satu tokoh masyarakat Sentani, Kristian Epa yang kini menjabat sebagai Asisten Satu Setwilda Kabupaten Mamberamo Tengah, bahwa pemberdayaan kampung-kampung adat di Kabupaten Jayapura harus melibatkan perempun.
“Keterlibatan perempuan menjadi syarat mutlak dalam upaya mewujudkan pembangunan dan pemberadayaan kampung adat yang berkeadilan. Satu kampung tidak mungkin sejahtera jika para perempuannya dibiarkan tertinggal, tersisihkan dan tertindas,” tegas Kristian Epa kepada New Guine Kurir di Waena, awal Desember 2020.
Menurut Kristian Epa, pemberdayaan kampung adat yang kini genjar dilakukan, jika tidak melibatkan kaum perempuannya, maka perberdayaan kampung itu tak akan berkembang dengan baik karena upaya pemberdayaan lebih berorientasi kepada kaum lelaki.
“Satu alasan mendasar yang menjadi hambatan dalam pemberdayaan kampung adat adalah perencanaan yang tidak memiliki rasa hormat pada kehidupan perempuan,” tegas Kristian Epa.
Lebih lanjut, lelaki yang sudah malang melintang dalam pembangunan pemerintahan dan kemasyarakatan menjelaskan, bahwa peran perempuan telah diakomodir oleh segenap peraturan pembangunan nasional, seperti UU No 6 tahun 2014 tentang desa, yang menyajikan keterlibatan perempuan yang sangat diperlukan bagi keberhasilan pembangunan desa atau kampung.
Epa memberi contoh, bagaimana perempuan Sentani yang memiliki peran cukup kompleks dalam kehidupan setiap hari, seperti peran domestik yaitu reproduksi dan produksi. Selain itu, adanya peran publik berupa peran perempuan dalam adat.
Peran perempuan ini, harus diperhitungkan dalam perencanaan pembangunan kampung adat di Kabupaten Jayapura. (Ian)