Beranda Opini Antara Retorika Pemerataan dan Realitas Kesenjangan pada Pendidikan Global dan Indonesia

Antara Retorika Pemerataan dan Realitas Kesenjangan pada Pendidikan Global dan Indonesia

51
0
BERBAGI

Oleh: Ruben Cornelius Siagian (*) 

PENDIDIKAN sejak lama dipandang sebagai pilar utama pembangunan peradaban. Teori klasik yang dikemukakan Emile Durkheim menegaskan bahwa pendidikan berfungsi sebagai mekanisme sosialisasi yang memungkinkan individu menjadi bagian dari masyarakat modern.[1] Namun, perjalanan sejarah telah menunjukkan bahwa akses terhadap pendidikan tidak pernah merata. Pada masa feodalisme, sekolah dan lembaga belajar hanya terbuka bagi kelompok aristokrat atau pemuka agama.[2] Mayoritas rakyat jelata belajar dari tradisi lisan, keterampilan praktis, atau tidak mengenyam pendidikan sama sekali.

Revolusi Industri pada abad ke-18 membawa perubahan besar, bahwa telah lahir sistem pendidikan formal dan kewajiban belajar untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja industri. Tetapi, kesenjangan tetap terjadi. Jean-Jacques Rousseau dan John Dewey kemudian menekankan pentingnya pendidikan universal, bukan sekadar untuk kepentingan ekonomi, melainkan sebagai sarana pembentukan manusia bebas, kritis, dan demokratis. Meski demikian, ketimpangan antara perkotaan dan pedesaan tetap tinggi.

Pasca-Perang Dunia II, dunia memasuki era baru dengan berdirinya UNESCO yang mendorong pendidikan sebagai hak asasi universal. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 menegaskan bahwa setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Sejak itu, banyak negara mulai melaksanakan program wajib belajar, meski keberhasilan sangat bervariasi. Globalisasi dan kemajuan teknologi di akhir abad ke-20 hingga awal abad ke-21 memperluas akses, tetapi sekaligus memperlebar jurang antara negara maju dan berkembang. Pandemi COVID-19 menjadi bukti nyata, bahwa pembelajaran daring justru mempertegas ketidaksetaraan, karena jutaan anak di negara miskin tidak memiliki gawai maupun jaringan internet memadai.

Isu Global dalam Pendidikan

Penelitian yang dilakukan Ruben Cornelius Siagian berangkat dari kerangka teoritis pembangunan manusia (human capital theory) yang dikembangkan oleh Theodore W. Schultz dan Gary Becker.[3][4] Teori ini menyatakan bahwa investasi pada pendidikan akan meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Namun, dalam praktiknya, faktor sosial-ekonomi sering kali menjadi penghambat akses pendidikan.

Data global memperlihatkan perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan dalam penyelesaian pendidikan. Hal ini sejalan dengan temuan Evans, D. K., Akmal, M., & Jakiela, P. (2020) yang menunjukkan bahwa gender masih menjadi faktor kunci dalam kesenjangan pendidikan, meskipun secara global jurang tersebut cenderung menyempit.[5] Di sisi lain, faktor tingkat kelahiran, pengangguran, dan kondisi ekonomi keluarga terbukti memiliki dampak langsung terhadap keberlangsungan sekolah anak. UNICEF (2023) mencatat bahwa anak-anak dari keluarga miskin tiga kali lebih mungkin putus sekolah dibanding anak dari keluarga kaya.

Out-of-School Rate (OOSR) atau angka anak tidak bersekolah menjadi indikator yang paling jelas. Laporan UNESCO (2023) yang memperingatkan bahwa lebih dari 244 juta anak dan remaja di seluruh dunia masih berada di luar sistem pendidikan formal.

Kemampuan dasar membaca dan matematika di usia dini terbukti menjadi fondasi penting. Penelitian yang dilakukan oleh Ogle, L. T., Sen, A., Pahlke, E., Jocelyn, L., Kastberg, D., Roey, S., & Williams, T. (2003) melalui studi PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study) menegaskan bahwa anak-anak yang gagal menguasai literasi dasar di kelas rendah akan kesulitan mengikuti pembelajaran di jenjang berikutnya.[6] Ruben mengonfirmasi temuan tersebut, bahwa siswa yang memiliki kemampuan membaca memadai di kelas 2–3 lebih siap menghadapi pelajaran matematika.

Metodologi dan Data

Penelitian yang dilakukan oleh Ruben Cornelius Siagian menggunakan data komprehensif dari UNESCO, UNICEF, dan PBB, meliputi indikator completion rate, out-of-school rate, literasi remaja, tingkat kelahiran, pengangguran, hingga enrolmen pendidikan tinggi. Analisis dilakukan dengan berbagai pendekatan statistik, antara lain deskriptif, regresi linear dan logistik, Principal Component Analysis (PCA), hingga clustering dengan K-Means. Metodologi memungkinkan melihat tren umum, dan mengidentifikasi pola tersembunyi dalam distribusi pendidikan global.

Temuan Utama

Penelitian yang ditemukan oleh Ruben menunjukkan bahwa completion rate pendidikan dasar global hanya sekitar 42 persen. Angka ini menurun drastis di jenjang menengah pertama (33 persen) dan menengah atas (23 persen). Artinya, semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin banyak anak yang tidak mampu menyelesaikannya. Gender gap memang ada, meski relatif kecil di banyak negara.

Dari sisi sosial-ekonomi, regresi linear menemukan bahwa birth rate, tingkat pengangguran, dan tingkat literasi memiliki hubungan signifikan positif dengan completion rate. Analisis logistik menambahkan dimensi lain, bahwa negara dengan literasi tinggi dan tingkat kelahiran moderat cenderung memiliki peluang lebih besar mencapai completion rate di atas 50 persen.

Temuan clustering yang ditemukan oleh Ruben, bahwa negara-negara dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori, antara lain negara dengan capaian tinggi dan stabil (umumnya negara maju), negara dengan capaian menengah tetapi fluktuatif (transisi), serta negara dengan capaian rendah dan OOSR tinggi (negara berkembang dan miskin). Pola ini penting karena strategi kebijakan tidak bisa seragam, melainkan harus disesuaikan dengan posisi negara dalam kelompok tersebut.

Dari Retorika Inklusif ke Ketimpangan Struktural

Jika ditarik ke Indonesia, kesenjangan pendidikan global yang dipaparkan Ruben Cornelius Siagian menemukan cerminan nyata di dalam negeri. Program wajib belajar 12 tahun memang telah dicanangkan pemerintah sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, diperkuat dengan kebijakan Kartu Indonesia Pintar (KIP) pada era Joko Widodo. Namun, capaian Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) masih menunjukkan ketimpangan besar antarwilayah. Data BPS memperlihatkan bahwa provinsi-provinsi di Jawa dan Bali relatif tinggi, sementara wilayah timur Indonesia seperti Papua dan Maluku masih tertinggal jauh, dengan OOSR yang signifikan terutama di tingkat menengah atas.[7]

Kebijakan pendidikan Indonesia cenderung terjebak pada pendekatan kuantitatif, bahwa membangun gedung sekolah, menyalurkan bantuan sosial, atau menaikkan gaji guru. Namun, sebagaimana ditemukan dalam penelitian Ruben, faktor kualitas jauh lebih menentukan. Literasi dan numerasi dasar di Indonesia masih memprihatinkan. Hasil PISA 2022 menempatkan Indonesia di peringkat bawah dalam kemampuan membaca dan matematika. Ini menunjukkan bahwa problem pendidikan bukan sekadar soal akses, tetapi juga mutu proses pembelajaran.

Muncul juga dari aspek ketimpangan sosial-ekonomi. Meski ada program BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan KIP, anak-anak dari keluarga miskin tetap memiliki peluang lebih besar putus sekolah, terutama ketika memasuki usia remaja. Hal ini sejalan dengan temuan global mengenai OOSR. Banyak anak terpaksa berhenti sekolah untuk bekerja membantu ekonomi keluarga, terutama di sektor informal.

Orientasi kebijakan publik sering kali tidak konsisten. Kurikulum kerap berganti mengikuti dinamika politik, bukan berdasarkan hasil riset mendalam. Implementasi Kurikulum Merdeka misalnya, meski membawa semangat pembaruan, belum sepenuhnya menjawab tantangan kesenjangan kualitas guru dan keterbatasan fasilitas di daerah tertinggal.[8] Sehingga kebijakan pendidikan nasional berisiko menciptakan “ilusi pemerataan”, bahwa akses memang terbuka, tetapi kualitas hasil belajar tetap timpang.

Dari perspektif analisis, pendidikan di Indonesia masih cenderung melestarikan hidden curriculum berupa reproduksi ketidaksetaraan sosial. Anak-anak dari kelas menengah perkotaan dengan mudah mengakses sekolah swasta unggulan dan fasilitas digital, sementara anak desa hanya mengandalkan sekolah negeri dengan sarana terbatas. Ini membuat konsep pendidikan inklusif yang digaungkan dalam SDGs (Sustainable Development Goals) belum sepenuhnya terwujud.

Sehingga berdasarkan penelitian analisis yang dilakukan oleh Ruben, bahwa Indonesia bukan hanya bagian dari statistik global, tetapi contoh nyata bagaimana kesenjangan pendidikan tetap hidup di tengah retorika pemerataan. Dibutuhkan kebijakan publik yang lebih transformatif, bukan sekadar kosmetik, yang berfokus pada pemerataan kualitas guru, akses digital yang setara, serta intervensi khusus untuk menekan OOSR di tingkat menengah atas. Tanpa itu, cita-cita pendidikan inklusif hanya akan menjadi slogan politik tanpa substansi.

Penutup

Sejarah panjang pendidikan global, dan refleksinya di Indonesia telah menunjukkan bahwa cita-cita mulia untuk menghadirkan pendidikan inklusif masih jauh dari tercapai. Retorika pemerataan sering kali bersembunyi di balik data kuantitatif, bahwa angka partisipasi, jumlah gedung sekolah, atau besaran anggaran. Namun, di balik itu, jutaan anak masih menghadapi kenyataan pahit, bahwa keterbatasan ekonomi, kualitas guru yang timpang, akses teknologi yang tidak merata, hingga kebijakan publik yang lebih menonjolkan simbol politik daripada substansi perubahan.

Penelitian yang dilakukan oleh Ruben menegaskan bahwa problem pendidikan bukan hanya soal berapa banyak anak yang duduk di bangku sekolah, tetapi juga bagaimana kualitas proses belajar itu sendiri mampu membekali mereka dengan keterampilan literasi, numerasi, dan berpikir kritis yang esensial. Pendidikan seharusnya menjadi jalan pembebasan, sebagaimana ditekankan Paulo Freire, bukan sekadar ritual birokratis yang menyiapkan tenaga kerja murah.

Bagi Indonesia, tantangan terbesar adalah keluar dari jebakan “ilusi pemerataan” menuju transformasi yang nyata. Pemerintah harus berani menempatkan kualitas di atas kuantitas, mengutamakan intervensi pada kelompok rentan, memperkuat kompetensi guru, serta memastikan akses digital merata hingga pelosok negeri. Tanpa langkah-langkah struktural tersebut, pendidikan akan terus menjadi cermin buram: tampak indah dalam retorika, tetapi retak dalam kenyataan.

Sehingga pendidikan global dan nasional membutuhkan keberanian politik dan konsistensi kebijakan untuk menembus sekat-sekat ketidaksetaraan. Sebab hanya dengan pendidikan yang benar-benar inklusif, cita-cita keadilan sosial dan pembangunan berkelanjutan dapat diwujudkan, bukan sekadar menjadi slogan yang berulang dalam pidato dan dokumen resmi.

Referensi

 Becker, Gary S. “Human capital.” The concise encyclopedia of economics 2 (2002): 1–12. Capital, Human. “Theodore W. Schultz.” The American Economic Review 51, no. 1 (1961): 1–17.

Collins, Randall. “Comparative and historical patterns of education.” Dalam Handbook of the Sociology of Education. Springer, 2000.

Durkheim, Emile. Education and sociology. Simon and Schuster, 1956.

Evans, David K, Maryam Akmal, dan Pamela Jakiela. Gender gaps in education: The long view. Center for Global Development Washington, DC, 2020.

Ogle, Laurence T, Anindita Sen, Erin Pahlke, dkk. International Comparisons in Fourth-Grade Reading Literacy: Findings from the Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) of 2001. ERIC, 2003.

Rosidin, Isfandiarni Soenarto. Inequality, Regional Economic Development and Access to Public Services in Decentralizing Indonesia. 2021.

Tomasouw, Jolanda, Juliaans ER Marantika, Eldaa Crystle Wenno, dan June Carmen Noya van Delzen. “The Challenges of the Kurikulum Merdeka Implementation in 3T Area.” KnE Social Sciences, 2024, 359–77.

[1] Emile Durkheim, Education and sociology (Simon and Schuster, 1956).

[2] Randall Collins, “Comparative and historical patterns of education,” dalam Handbook of the Sociology of Education (Springer, 2000).

[3] Gary S Becker, “Human capital,” The concise encyclopedia of economics 2 (2002): 1–12.

[4] Human Capital, “Theodore W. Schultz,” The American Economic Review 51, no. 1 (1961): 1–17.

[5] David K Evans dkk., Gender gaps in education: The long view (Center for Global Development Washington, DC, 2020).

[6] Laurence T Ogle dkk., International Comparisons in Fourth-Grade Reading Literacy: Findings from the Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) of 2001., ERIC, 2003.

[7] Isfandiarni Soenarto Rosidin, Inequality, Regional Economic Development and Access to Public Services in Decentralizing Indonesia, 2021.

[8] Jolanda Tomasouw dkk., “The Challenges of the Kurikulum Merdeka Implementation in 3T Area,” KnE Social Sciences, 2024, 359–77.

(*)Ruben Cornelius Siagian adalah seorang peneliti muda, penulis opini, dan aktivis organisasi yang tumbuh dan berkiprah di Medan, Sumatera Utara. Beralamat di Gg. Sarman, Padang Bulan, ia dapat dihubungi melalui nomor WhatsApp +62 821-8574-7176.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here