Oleh: Dr. Ir. Agus Sumule (*)
HARI ini lima Provinsi di Tanah Papua sudah memiliki Gubernur dan Wakil Gubernurnya masing-masing. Provinsi Papua menyusul. Tetapi, hal itu tidaklah berarti, bahwa para gubernur di lima provinsi itu tinggal mengayuh perahu yang dipenuhi rakyat masing-masing, untuk berlayar ke pulau kesejahteraan.
Ini penyebabnya: Kecuali Gubernur Papua Tengah dan Papua Barat, maka semua gubernur yang lain, termasuk gubernur Papua yang masih kita tunggu, pasti lumayan kaget melihat dana pembangunan yang tersedia di APBD. Jumlahnya ternyata tidak sebanding dengan harapan-harapan yang disampaikan kepada rakyat ketika mereka berkampanye beberapa waktu lalu.
Seorang Kakanwil Keuangan mengatakan, bahwa dia bisa mengerti kegundahan para kepala daerah di Papua, khususnya para Gubernur, karena dana pembangunan yang tersedia, yang berasal dari transfer Pusat, sangat terbatas jumlahnya. Apalagi PAD sangat terbatas jumlahnya.
Mari kita ambil contoh andaikata Pemerintah Provinsi Papua Selatan bertekad untuk menyelesaikan masalah pendidikannya, yang dimulai dari pendidikan dasar, supaya dalam waktu 5 tahun fondasi pembangunan pendidikan yang kukuh dan tangguh bisa diletakkan.
Ada 606 SD di Papua Selatan. Oleh karena itu diperlukan paling sedikit Rp 606 milyar untuk menyelenggarakan SSH di setiap SD tersebut. Selain itu, ada 687 kampung di Papua Selatan. Kalau Bapak Gubernur dan para Bupati di Provinsi Papua Selatan bertekad untuk menyelenggarakan program “1 Kampung 1 PAUD/TK” di setiap kampung di Papua Selatan, maka paling sedikit diperlukan dana sebesar Rp 230 miliar setahun.
Kemudian, karena ada 83 distrik di Papua Selatan, dan sebaiknya PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Mengajar) dilaksanakan di setiap distrik supaya RLS (rata-rata lama sekolah) sebesar 7,28 tahun bisa menjadi 12 tahun untuk setiap orang dewasa Papua Selatan, sesuai dengan amanat UU Otsus Papua, maka untuk mengoperasionalkan ke-83 PKBM tersebut diperlukan dana paling sedikit Rp 166 miliar setahun.
Jumlah di atas sudah lebih sedikit dari Rp 1 Triliun. Kalau ditambah dengan operasionalisasi mirip SSH untuk 130 SMP, 37 SMA, dan 25 SMK se-Papua Selatan, maka diperlukan paling dana paling sedikit Rp 480 Miliar. Artinya, paling sedikit harus tersedia dana sebesar Rp 1,5 triliun untuk meningkatkan mutu dan cakupan pendidikan dari tingkat paling PAUD/TK sampai dengan PKBM (orang dewasa) di seluruh Papua Selatan.
Angka Rp 1,5 triliun itu belum termasuk biaya CaPex (Capital Expenditure) untuk perbaikan ruang-ruang kelas yang sudah rusak, pembangunan gedung-gedung sekolah baru, penyediaan air bersih, listrik dan telekomunikasi, serta melengkapi laboratorium dan perpustakaan, dan peningkatan jumlah dan mutu guru menjadi guru bersertifikat, serta perumahan bagi mereka.
Kalau CapEx dimasukkan, maka dengan menggunakan rule of thumb banyak lembaga pembangunan di dunia, bahwa CaPex itu nilainya kurang lebih 3 kali lebih besar dari OpEx (Operational Expenditure), maka dalam 5 (lima) tahun ke depan, yaitu antara tahun 2026-2031, untuk memperbaiki tingkat pendidikan OAP dan masyarakat pada umumnya di Provinsi Papua Selatan diperlukan anggaran sebesar Rp 30 triliun untuk penyelenggaraan Program Pendidikan Bermutu Bagi Semua (P2B2S) di Provinsi Papua Selatan.
Sumber pembiayaan pembangunan di Papua tidak bisa hanya sekedar berharap dari transfer pemerintah pusat. Itu sudah jelas dari perhitungan di atas. Pada tahun 2023 total Dana Otsus untuk tingkat Provinsi dan kabupaten se Provinsi Papua Selatan, baik Block Grant maupun yang sudah di-earmarked adalah sebesar Rp 4,019 triliun lebih.
Dana untuk pembangunan pendidikan, yaitu 30% dana berbasis kinerja, hanya sebesar Rp 670M per tahun. Jumlah ini tergantung pada fluktuasi plafon DAU (Dana Alokasi Umum) di tingkat nasional setiap tahun. Jadi, pertanyaannya menjadi: sisa kebutuhan sebesar Rp 800 miliar lebih setiap tahun harus diperoleh dari mana?
Kuncinya adalah pada apakah Pemda ikut terlibat dalam eksploitasi sumber daya alam di wilayah masing-masing atau tidak. Kalau tidak, maka Pemda praktis hanya memperoleh sangat sedikit dari eksploitasi sumber daya alam di wilayahnya.
Ambil contoh eksploitasi 2 juta hektar lahan di Kabupaten Merauke untuk keperluan Proyek Strategis Nasional bidang pertanian. Kalau semuanya dikerjakan oleh swasta di luar Pemda PPS, Merauke, Mappi, Asmat dan Boeven Digoel, maka yang akan diperoleh Pemda sangat sedikit, yaitu dari sejumlah pajak daerah. Padahal pajak terbesar dari usaha seperti ini adalah dari Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan).
Tidak banyak yang sadar, bahwa PPh Badan itu 100% milik pemerintah pusat, bukan daerah provinsi ataupun kabupaten/kota. Besarnya sekitar 22% dari laba perusahaan. Semuanya yang nanti dipungut dari laba perusahaan-perusahaan pertanian raksasa yang bekerja di Merauke akan disetor ke Dirjen Pajak Kemenkeu, dan tidak akan ada yang menetes ke Kota Rusa untuk diatur sendiri oleh pemerintah setempat.
Yang secara teori akan menjadi milik pemda hanyalah pajak kendaraan bermotor (yang apabila terletak dan hanya beroperasi di dalam wilayah perusahaan tidak akan bisa dipungut karena bisa dicatat sebagai mesin), pajak restoran (yang juga akan sulit dipungut dari mes-mes makan milik perusahaan karena akan dicatat sebagai bukan restoran), dan pajak air permukaan dan tanah (yang jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan PPh Badan).
Jadi, supaya Pemda di Tanah Papua bisa mempercepat terselenggaranya pembangunan di daerah masing-masing, tidak ada cara lain kecuali memiliki sumber penghasilan yang besarnya signifikan yang bersumber dari dari kepemilikan atas usaha-usaha yang mengekploitasi sumber daya alam yang terletak di provinsi/kabupaten/kota masing-masing.
Urutannya kurang lebih begini:
(1) Pemda harus memiliki Izin Usaha atas sumber-sumber daya alam tersebut;
(2) Kelembagaan milik Pemda yang sah untuk memiliki Izin Usaha tersebut adalah BUMD;
(3) Gubernur, Bupati dan Walikota bersama-sama dengan DPRP/DPRK dan MRP meminta kepada Presiden agar kepemilikan atas sumberdaya alam tersebut tidak perlu dilakukan melalui tender, karena seluruh hasil dari eksploitasi tersebut diberikan seluruhnya bagi pembangunan rakyat di wilayah masing-masing di Papua untuk pendidikan, kesehatan, dan ekonomi kerakyatan;
(4) BUMD milik Pemda bekerjasama dengan masyarakat hukum adat;
(5) BUMD milik Pemda berhak membangunan kemitraan bisnis dengan perusahaan- perusahaan tingkat dunia
(6) dan seterusnya.
Jadi, Pemda harus ‘ingat diri sendiri/ingat rakyatnya’ dengan juga memilik Izin Usahanya sendiri — khususnya di pertambangan umum, dan pertambangan minyak dan gas bumi.
Melalui kerjasama dengan mereka yang ahli, izin usaha milik BUMD/Pemda bisa dibuat menjadi “proven” melalui kegiatan riset, dan menjadi “bankable” karena yang mau diusahkan itu benar-benar akan memberikan keuntungan besar.
Ketika sudah tiba pada tahap ini, Pemda bisa mengupayakan/meminta/ meminjam dana pembangunan supaya dibayar lebih awal, karena ada kolateral yang bisa dijaminkan. Kenapa Freeport bisa kaya raya? Karena sumber daya tambang di perut bumi Papua bisa dibuat menjadi asetnya. Itulah yang digunakan oleh perusahaan itu untuk meminjam dana dari Bank untuk berbagai ekspansinya.
Kenapa Pemda di Papua tidak menempuh cara yang sama untuk memperoleh dana guna membangun rakyatnya jauh lebih awal sebelum sumber daya alamnya mulai dieksploitasi. Kalau cara ini digunakan, maka sumber daya alam itu akan dieksploitasi oleh orang-orang Papua sendiri karena mereka sudah dididik lebih dahulu. Salam. (* Dosen Universitas Papua)