Beranda PEMILU 2024 Sepenggal Kisah dari Kaum yang Terkungkung

Sepenggal Kisah dari Kaum yang Terkungkung

413
0
BERBAGI
The poor old man's hands hold an empty bowl. The concept of hunger or poverty. Selective focus. Poverty in retirement. Homeless. Alms

Kalian semua kaum terpelajar menanggung beban dan tanggung jawab sangat besar di hadapan Tuhan dan Penduduk asli Papua yang berada di kampung-kampung untuk mengangkat mereka yang terkungkung dalam kemiskinan. Mereka punya Hope (harapan).  Apa jadinya kalau hope itu dihancurkan karena kerakusan yang tidak habis habisnya.  

 

DIPUNGHUJUNG  2022, Tri (bukan naman sebenarnya) mengundang saya dalam satu seminar terbatas di salah satu perguruan tinggi di Jayapura. Saat saya datang sudah berkumpul beberapa orang. Yang datang semua tentu seperti Tri yang bergelar S3. Maklum, kantor tempat kerja Tri bergerak bidang penelitian. Kajian menyangkut politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sebagian besar jasanya melayani pemerintah. Setiap tahun mereka membuat laporan  dan analisa kepada publik, yang disebarkan lewat media massa.  “Terimakasih, Om sudah sempatkan datang. Padahal Om sibuk ya” Kata Tri menyambut saya.

Diskusi berlangsung santai tapi serius sekali. Maklum dihadapan saya, ada  para akademisi dan mahasiswa yang sudah terbiasa melakukan riset.  Topik yang dibahas sekarang adalah Dampak dan Potret Peran Orang Asli Papua di Lembaga Legislatif dan Eksekutif).

Wouw….. teori-teori politik dalam kehidupan sosial kemsyarakatan, dimunculkan. Pusing juga saya mendengar terori-teori itu.

(Suara Purwasuka)

“Coba kita dengar teman saya untuk menjelaskan dari perspektif dia sebagai Jurnalis. Tentu dia akan jelaskan secara praktis. “ Kata Tri melirik saya. Kata Tri, pentingnya masalah praktek lapangan dimengerti oleh peneliti akademis. Apalagi praktek ini kan berkembang dari waktu ke waktu. Namanya juga jurnalis kan berusaha untuk menarik pembaca dengan “permaian kata-kata” supaya mereka survival. Tapi karena Tri sudah terlanjur memperkenalkan saya, ya udah saya bicara aja.”

Saya berdiri menuju ke depan. Awalnya, saya tidak tahu, harus berbicara mulai dari mana. Dalam kondisi itu, saya teringat Lagu Tanah Papua, karya Yance Rumbino. Lalu, melalui Handphone, saya memperdengarkan lagu Tanah Papua. Suaranyanya, saya minta diperbesar.

Mereka diam sampai lagu itu selesai. Mereka semua saling tatap. Tetapi tetap focus menanti saya untuk berbicara di seminar yang terhormat itu. Setelah lagu usai, saya mulai menjelaskan.

Lagu Tanah Papua yang selalu dilantunkan diberbagai acara itu, mengajak kita untuk Memuji Tanah Papua  “Betulkah kita mencintai dan menjaga Tanah Papua dan Penduduknya? Saya kembali memutar sepenggal lirik dari lagu itu… Gunung-Gunung Lembah-Lembah yang Penuh Misteri….dst.  Semua peserta seminar itu, terdiam.

Saya melontarkan kembali pertanyaan. “Betulkah kita mencintai dan menjaga Tanah Papua serta Penduduknya?

Kalian semua kaum terpelajar menanggung beban dan tanggung jawab sangat besar di hadapan Tuhan dan Penduduk asli Papua yang berada di kampung-kampung untuk mengangkat mereka yang terkungkung dalam kemiskinan. Mereka punya Hope (harapan).  Apa jadinya kalau hope itu dihancurkan karena kerakusan yang tidak habis habisnya.

Bayangkanlah. Saat kalian euforia di rumah besar dan mewah, ada sebagian besar rakyat yang tidak punya makanan dan rumah yang layak. Ada yang menderita busung lapar. Disaat kalian duduk di dalam kendaraan mewah, ada sebagian besar orang asli Papua (rakyat) yang belum makan. Ada yang harus tahan panas dan hujan untuk mendapatkan uang agar bisa bayar angsuran Motor. Di tengah tumpukan uang kalian di bank, ada orang asli Papua dalam situasi derita miskin yang tak tertanggungkan.

Mereka tidak bisa lagi teriak. Mereka hanya diam saat dapat BLT dan mengharapkan bantuan pemerintah yang terus memanjakan mereka.

”Mereka kaum yang tak bersuara. Mereka diam dalam kungkungan kemiskinan. Dan ketahuilah…  doa orang yang diam jauh lebih buruk dampaknya daripada orang yang teriak teriak… Karena dia serahkan urusan itu ke Tuhan. Itu artinya kalian berperang dengan Tuhan.”  Kata saya mengakhiri pembicaraan.  (Krist A)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here