Beranda Lingkungan Nikel di Raja Ampat yang Terkoyak

Nikel di Raja Ampat yang Terkoyak

469
0
BERBAGI
Ada Tambang Nikel di Raja Ampat. Pembukaan lahan pertambangan Nikel di Raja Ampat (Foto: CNBC)

JAKARTA, NGK – Ada tambang nikel di Pulau Batan Pele dan Pulau Manyaifun di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya. Pembukaan tambang nikel ini atas ijin pemerintah pusat, walau sudah diprotes oleh masayarakat adat di sana.

Protes masyarakat adat itu diangkap sunyi  oleh pemerintah dan perusahaan. Ketika aktivis Greenpeace Indonesia bersama empat anak muda Papua dari Raja Ampat menggelar aksi damai untuk menyuarakan dampak buruk pertambangan dan hilirisasi nikel yang membawa nestapa bagi lingkungan hidup dan masyarakat, barulah persoalan tambang nikel itu merebak.

Ketika Wakil Menteri Luar Negeri, Arief Havas Oegroseno, berpidato dalam acara Indonesia Critical Minerals Conference 2025 hari ini di Jakarta, aktivis Greenpeace menerbangkan banner bertuliskan “What’s the True Cost of Your Nickel?”, serta membentangkan spanduk dengan pesan “Nickel Mines Destroy Lives” dan “Save Raja Ampat from Nickel Mining”.

Bukan hanya di ruang konferensi, aktivis Greenpeace Indonesia dan anak muda Papua juga membentangkan banner di exhibition area yang terletak di luar ruang konferensi. Pesan-pesan lain yang berbunyi “What’s the True Cost of Your Nickel”, “Nickel Mines Destroy Lives”, dan “Save Raja Ampat the Last Paradise” terpampang di antara gerai-gerai dan para pengunjung pameran.

Melalui aksi damai ini, Greenpeace ingin mengirim pesan kepada pemerintah Indonesia dan para pengusaha industri nikel yang meriung di acara tersebut, serta kepada publik, bahwa tambang dan hilirisasi nikel di berbagai daerah telah membawa derita bagi masyarakat terdampak. Industri nikel juga merusak lingkungan dengan membabat hutan, mencemari sumber air, sungai, laut, hingga udara, dan jelas akan memperparah dampak krisis iklim karena masih menggunakan PLTU captive sebagai sumber energi dalam pemrosesannya.

“Saat pemerintah dan oligarki tambang membahas bagaimana mengembangkan industri nikel dalam konferensi ini, masyarakat dan Bumi kita sudah membayar harga mahal. Industrialisasi nikel–yang makin masif seiring tren naiknya permintaan mobil listrik–telah menghancurkan hutan, tanah, sungai, dan laut di berbagai daerah, mulai dari Morowali, Konawe Utara, Kabaena, Wawonii, Halmahera, hingga Obi. Kini tambang nikel juga mengancam Raja Ampat, Papua, tempat dengan keanekaragaman hayati yang amat kaya yang sering dijuluki sebagai surga terakhir di bumi,” kata Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Dari sebuah perjalanan menelusuri Tanah Papua pada tahun lalu, Greenpeace menemukan aktivitas pertambangan di sejumlah pulau di Raja Ampat, di antaranya di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran. Ketiga pulau itu termasuk kategori pulau-pulau kecil yang sebenarnya tak boleh ditambang menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil.

Menurut analisis Greenpeace, eksploitasi nikel di ketiga pulau itu telah membabat lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami khas. Sejumlah dokumentasi pun menunjukkan adanya limpasan tanah yang memicu sedimentasi di pesisir–yang berpotensi merusak karang dan ekosistem perairan Raja Ampat–akibat pembabatan hutan dan pengerukan tanah.

Selain Pulau Gag, Kawe, dan Manuran, pulau kecil lain di Raja Ampat yang terancam tambang nikel ialah Pulau Batang Pele dan Manyaifun. Kedua pulau yang bersebelahan ini berjarak kurang lebih 30 kilometer dari Piaynemo, gugusan bukit karst yang gambarnya terpacak di uang pecahan Rp100.000.

Raja Ampat, yang sering disebut sebagai ‘surga terakhir di Bumi’, terkenal karena kekayaan keanekaragaman hayati baik di darat maupun di lautnya. Perairan Raja Ampat merupakan rumah bagi 75 persen spesies coral dunia dan punya lebih dari 2.500 spesies ikan. Daratan Raja Ampat memiliki 47 spesies mamalia dan 274 spesies burung. UNESCO juga telah menetapkan kawasan Raja Ampat sebagai global geopark.

Ronisel Mambrasar, anak muda Papua yang tergabung dalam Aliansi Jaga Alam Raja Ampat mengatakan, “Raja Ampat sedang dalam bahaya karena kehadiran tambang nikel di beberapa pulau, termasuk di kampung saya di Manyaifun dan Pulau Batang Pele. Tambang nikel mengancam kehidupan kami. Bukan cuma akan merusak laut yang selama ini menghidupi kami, tambang nikel juga mengubah kehidupan masyarakat yang sebelumnya harmonis menjadi berkonflik.”

Greenpeace Indonesia mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan industrialisasi nikel yang telah memicu banyak masalah. Sesumbar tentang keuntungan hilirisasi, yang digaungkan sejak era pemerintahan Jokowi dan kini dilanjutkan Prabowo-Gibran, sudah seharusnya diakhiri. Industrialisasi nikel terbukti menjadi ironi: bukannya mewujudkan transisi energi yang berkeadilan, tapi justru menghancurkan lingkungan hidup, merampas hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal, dan memperparah kerusakan Bumi yang sudah menanggung beban krisis iklim.

Aksi buka hutan untuk tambal nikel di Raja Ampat ini membuat para nitizen di media sosial, ramai-ramai “angkat suara”

Salah satu nitizen menulis “bahwa  Bahlil Lahadalia, Menteri SDM (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral) Indonesia punya andil besar untuk pembukaan tambang itu.

“Bahlil Lahadalia, Menteri SDM (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral) Indonesia yang juga ketua Umum Golkar selalu mengklaim diri sebagai OAP. Bahlil Punya andil besar terhadap pembukaan Pertambangan Nikel di Raja Ampat dan sejumlah Proyek Strategi Nasional (PSN) di Tanah Papua.  Kepemimpinan Bahlil Lahadalia di Partai Golkar dan Kementerian ESDM memberikan pengaruh besar terhadap kebijakan eksplorasi tambang di Indonesia, termasuk di Raja Ampat.  Akibatnya, hutan dan manusia Papua jadi korban. Asosiasi MRP di Tanah Papua dan DPR (P) dengan kewenangan yang dimilikinya, harus peka melihat persoalan ini. MRP dan DPRP  Jangan tidur  dengar lagu tentang rakyat.”  [***)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here