
SORONG, NGK – Proyek Strategi Nasional (PSN) yang menjadi kebijakan andalan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto mendapat penolakan dari sejumlah organisasi masyarakat adat dan lingkungan di Sorong, Provinsi Papua Barat Daya.
Aksi penolakan yang digelar di Kantor Kantor Belantara itu bertepatan dengan hari Lingkungan Hidup Sedunia, 5 Juni 2025. Pernyataan penolakan yang termuat dalam keterangan pers itu diterima portal berita www.newguineakurir.com pada 6 Juni 2025 itu, menjelaskan, bahwa PSN itu adalah bencana mematikan yang terorganisir dan sistematis.
Dalam keterangan per situ disebutkan, kekayaan alam Papua yang melimpah kini menjadi kutukan bagi masyarakat adat Papua.
Disebutkan juga, meskipun memiliki sumber daya alam yang melimpah tapi masyarakat adat Papua masih terus hidup dalam kemiskinan, gizi buruk, kelaparan, pelanggaran hak asasi manusia, kematian yang terus menghantui, dan pengungsian dari tanah-tanah adat akibat konflik yang diciptakan oleh sistem yang terorganisir, terstruktur, dan masif dengan tujuan merampas serta menguasai ruang hidup dan kekayaan alam masyarakat adat Papua.
Lebih lanjut disebutkan, kebijakan Otonomi Khusus sebagai jalan tengah dari teriakan merdeka masih belum mampu memberikan kepastian hidup bagi masyarakat adat Papua. Sejak diberlakukan pada tahun (2001) Otonomi Khusus yang diyakini akan memberikan kesejahteraan dan perlindungan bagi masyarakat adat Papua hingga kini masih belum mencapai tujuan tersebut.
Perampokan dan perampasan sumber daya alam Papua yang telah dilakukan puluhan tahun sebelum dan setelah Indonesia merdeka sama sekali tidak berdampak pada kesejahteraan dan kelangsungan hidup masyarakat adat Papua. Semua kebijakan negara semata-mata hanya untuk menguntungkan dan mengutamakan kepentingan kaum kapitalis dan imperialisme asing, sebaliknya menjadi malapetaka bagi masyarakat adat Papua.
Hutan Papua yang luasnya diperkirakan mencapai 34,13 juta hektar. Yang mana dalam 34 juta hektar tutupan hutan itu dihuni oleh ribuan flora dan fauna (biodiversity yang sangat tinggi). Selain sebagai surga keanekaragaman hayati, Papua juga menjadi rumah bagi lebih dari 271 suku (bahasa dan budaya) masyarakat adat yang hidup tersebar dari pesisir hingga pedalaman atau hutan belantara Papua. Hutan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat adat Papua, kearifan lokal masyarakat dalam memanfaatkan hutan menjadi nilai tersendiri bagi masyarakat adat. Namun kini luasan hutan Papua berangsur-angsur berkurang akibat berbagai kebijakan negara mulai transmigrasi, HPH, Perkebunan Kelapa Sawit, Pertambangan Nikel, Emas, Batubara, serta pembukaan hutan untuk industri ekstraktif lainnya yang dilakukan secara ilegal dan tanpa persetujuan masyarakat adat, yang melanggar prinsip FIPC (Free Prior and Informed Consent).
AliansiMasyarakatAdatNusantara(AMAN)mencatatpadatahun2024terjadi perampasanwilayahadatolehnegaradankorporasimencapai2,8Jutahektaryang selaludisertaidengankekerasan.
AMAN juga menilai, hukum dan kebijakan negara semakin jauh dari tujuan kita bernegara, yaitu untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Undang-Undang seperti UU Cipta Kerja, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU tentang Ibu Kota Negara, UU Mineral dan Batubara, UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan deretan kebijakan operasional di berbagai sektor adalah hasil dari semangat “penyangkalan” terhadap eksistensi Masyarakat Adat dan hak-hak tradisionalnya.
\Hal ini sekaligus mencerminkan kegagalan Pemerintahan dalam memenuhi tanggung jawab konstitusionalnya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak Masyarakat Adat.
Pengabaian secara terus menerus terhadap pengesahan RUU Masyarakat Adat juga mencerminkan rendahnya kehendak negara untuk berubah. Hingga akhir tahun, hanya sedikit fraksi di parlemen yang akhirnya mengambil inisiatif untuk Kembali mengusulkan RUU Masyarakat Adat ke dalam Program Legislasi Nasional.
Saat ini di provinsi Papua Barat Daya terutama di Kabupaten Sorong terdapat setidaknya empat (4) perusahaan perkebunan kelapa sawit yang telah beroperasi diantaranya :
- PT Henrison Inti Persada (HIP), dengan luas wilayah konsesi 546,30 hektar kini dikuasai oleh Capitol Group;
- PT Inti Kebun Sejahtera (IKSJ), dengan luas wilayah konsesi 000 hektar;
- PT Inti Kebun Sawit (IKS), dengan luas wilayah konsesi 000 hekar;
- PT Sorong Global Lestari (SGL), dengan luas wilayah konsesi 305 hektar;
PT IKSJ, PT IKS, dan PT SGL merupakan anak perusahaan Ciliandry Anky Abadi (CAA) Group.
AktivitasperusahaanperkebunankelapasawitdiKabupatenSorongdenganjanji kesejahteraandanpeningkatanekonomitelahmenipuMasyarakatAdatMoiuntuk melepaskanwilayahadatmerekakepadaperusahaandengannilaijualyangsangat kecilyaituRp.6.000/hektarnya.
Selain itu kehadiran perusahaan juga menimbulkan berbagai masalah sosial mulai dari pencemaran lingkungan seperti yang baru-baru ini terjadi di sungai Klasof, Kabupaten Sorong. Deforestasi, Perampasan dan Penggelapan Tanah tanpa persetujuan masyarakat adat, serta kekerasan yang dilakukan oleh militer yang ditugaskan untuk menjaga kantor-kantor perusahaan.
Perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Kabupaten Sorong pada prakteknya tidak menghormati hukum adat yang hidup dalam masyarakat Moi, hal tersebut dibuktikan dengan perusakan atau penggusuran dusun sagu dan tempat-tempat keramat yang terus terjadi. Dengan adanya aktivitas perusahaan perkebunan yang sangat masif, diperkirakan hutan adat suku Moi di daerah pesisir pantai selatan kabupaten Sorong akan habis dan tinggal cerita bagi anak cucu.
Kehadiran PT Fajar Surya Persada sebagai perusahaan swasta nasional yang bermaksud untuk membangun industri pangan terpadu (minyak nabati, margarin dll) berbasis kelapa sawit yang terintegrasi dengan Industri Biodiesel. Yang saat ini sedang mengajukan permohonan dukungan kepada Gubernur Papua Barat Daya untuk Pembangunan Industri Pangan Terpadu Berbasis Kelapa Sawit Sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan rencana investasi sebesar ± 24 T pada lahan seluas ± 98.824,97 kembali mengancam hutan masyarakat adat Papua di Provinsi Papua Barat Daya.
Terdapat niat buruk korporasi untuk menjadikan lahan dengan luasan tersebut menjadi kawasan PSN dengan tujuan untuk mengkonsolidasikan dan mengatur semua unit usaha yang kemudian dikenal dengan praktik oligopoli atau suatu bentuk struktur pasar di mana hanya ada beberapa penjual yang menguasai sebagian besar atau bahkan seluruh pasar suatu komoditas. Yang mana dengan sistem tersebut posisi dan keberadaan korporasi semakin kuat dan keuntungan semakin besar sedangkan masyarakat adatnya terus tersingkir dan termarjinalkan dari ruang hidup mereka.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas kami berpendapat bahwa :
- Keberadaan dan pemberlakukan UU Otonomi Khusus Papua hingga saat ini belum mampu memberikan jaminan dan perlindungan bagi masyarakat adat Papua dan sumber daya alam yang seharusnya dikelola untuk kesejahteraan masyarakat adat Papua;
- Pengakuan Masyarakat Adat Papua Kian Terabaikan4;
- Aktivitas semua perusahaan dan industri ekstraktif di Papua sama sekali tidak memberikan dampak positif bagi Masyarakat Adat Perusahaan-perusahaan tersebut hanya mengejar keuntungan dengan melanggar hak asasi masyarakat adat Papua;
- Negara telah abai melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi, menghormati, dan melindungi hak asasi manusia bagi masyarakat adat Papua;
Dalam keterangan per situ ditegaskan, dalam momentum Hari Lingkungan Hidup sedunia yang ditetapkan dan dirayakan setiap tanggal 5 Mei setiap tahun nya sejak tahun 1973. Maka kami menyatakan sikap dan mendesak :
- Pelaksanaan Undang – Undang Otonomi Khusus Papua harus berpihak pada perlindungan dan penghormatan hak asasi masyarakat adat Papua, termasuk melibatkan masyarakat adat secara bermakna dalam seluruh proses perencanaan pembangunan dan pemberian izin usaha, sebelum izin diterbitkan di wilayah adat;
- Negara segera mengambil langkah-langkah aktif untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat adat Papua yang hingga kini terus tersingkir dan termarjinalkan dari tanah dan wilayah adat mereka akibat aktivitas perusahan dan industri ekstraktif;
- Pemerintah segera menghentikan seluruh aktivitas Proyek Strategis Nasional (PSN) yang merampas ruang hidup masyarakat adat Papua dan melanggar Hak Asasi Manusia;
- Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya didesak untuk tidak memberikan dukungan dan izin dalam bentuk apapun kepada semua perusahaan yang mengancaman keberlangusngan hidup masyarakat adat Papua dan lingkungan hidup;
- Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya didesak untuk tidak memberikan dukungan untuk Pembangunan Industri Pangan Terpadu Berbasis Kelapa Sawit Sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan rencana investasi sebesar ± 24 T pada lahan seluas ± 824,97 yang direncanakan oleh PT Fajar Surya Persada pada wilayah Masyarakat Adat Moi dan Masyarakat adat lainnya di Provinsi Papua Barat Daya;
- Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya didesak agar dalam setiap kebijakannya mengedepankan penghormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat Papua;
- Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya segera menetapkan kebijakan untuk pengakuan dan perlindungan wilayah masyarakat adat sebagai benteng terakhir hutan tropis dan warisan ekologis Papua;
- Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan semua pihak-pihak terkait untuk tidak lagi memaksakan proyek-proyek skala besar yang mengorbankan masyarakat adat
- Pemerintah mengembangkan program ekonomi kerakyatan yang berpihak pada melibatkan dan berkonsultasi dengan masyarakat adat akar rumput,
Demikian Release Pers bersama ini kami nyatakan demi tegaknya Hak Asasi Manusia dan Perlindungan dan kelestarian lingkungan hidup di tanah Papua terlebih di Provinsi Papua Barat Daya. “Selamat hari Lingkungan Hidup Sedunia, 5 Juni 1973 – 5 Juni 2025” (**/Nesta/ka)