Beranda Opini 80 TAHUN MERDEKA, MENGAPA NOBEL MASIH JAUH DARI JANGKAUAN?

80 TAHUN MERDEKA, MENGAPA NOBEL MASIH JAUH DARI JANGKAUAN?

24
0
BERBAGI

Oleh: Ruben Cornelius Siagian

Pengantar
Pada tahun 2025, dunia kembali menyaksikan gemilangnya ajang Hadiah Nobel, di mana para ilmuwan dari Amerika Serikat dan Jepang berhasil menorehkan prestasi luar biasa di bidang kedokteran dan fisika. Penemuan mereka, yang membuka wawasan baru tentang sistem kekebalan tubuh dan fenomena kuantum, bukan hanya memberi dampak pada ilmu pengetahuan global, tetapi juga menyelamatkan dan meningkatkan kualitas hidup jutaan orang. Di sisi lain, Indonesia, yang sudah merayakan 80 tahun kemerdekaan, masih menanti momen serupa. Hingga saat ini, belum ada satu pun ilmuwan atau peneliti Indonesia yang berhasil menembus pengakuan dunia melalui Nobel. Situasi ini bukan sekadar soal penghargaan yang belum diraih. Kondisi ini mengartikan kapasitas ilmiah, kualitas riset, dan inovasi yang masih perlu digarap secara serius. Menanti Nobel adalah cermin dari kemampuan bangsa untuk berpikir kritis, mendorong ilmu pengetahuan, dan menghasilkan inovasi yang mampu memberi manfaat bagi umat manusia secara global.
Latar Belakang Historis

Sejak pertama kali diberikan pada tahun 1901, Hadiah Nobel telah menjadi simbol prestise tertinggi dalam dunia ilmu pengetahuan, sastra, dan perdamaian.[1] Alfred Nobel, penemu dinamit dan deretan paten lainnya, mewariskan kekayaannya dengan visi yang jelas, bahwa mereka menghargai yang mampu memberikan kontribusi signifikan bagi kemanusiaan. Hadiah ini terbagi ke dalam enam kategori utama, mulai dari Fisika, Kimia, dan Kedokteran, hingga Sastra, Perdamaian, dan Ilmu Ekonomi, masing-masing merupakan bidang yang dianggap fundamental bagi kemajuan peradaban.

Pemberian penghargaan ilmiah dapat dianalisis melalui Teori Motivasi dan Insentif dalam Sains. Menurut Merton (1973) dalam The Sociology of Science, penghargaan ilmiah tidak hanya sebagai pengakuan prestasi, tetapi juga memotivasi peneliti untuk berkontribusi pada perkembangan pengetahuan yang bersifat kumulatif.[2] Teori ini menekankan pentingnya struktur institusional dan sistem penghargaan untuk mendorong inovasi. Dalam konteks ini, Hadiah Nobel berfungsi sebagai insentif eksternal yang memperkuat status ilmiah individu dan institusi, sekaligus menciptakan “efek teladan” bagi komunitas ilmiah global.

Sementara dunia terus mencatat prestasi ilmiah yang gemilang, Indonesia menapaki jalannya sendiri setelah meraih kemerdekaan pada 1945. Studi menunjukkan bahwa meski Indonesia memiliki jumlah peneliti yang meningkat secara signifikan dalam dua dekade terakhir, publikasi yang diakui secara internasional masih rendah dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.[3][4] Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara kapasitas ilmiah dan pengakuan global.

Indonesia memiliki segala potensi untuk bersinar di ranah global, bahwa kekayaan sumber daya alam, budaya yang mendunia, serta keragaman intelektual yang bisa menjadi fondasi inovasi. Namun, penelitian oleh Serdyukov, P. (2017) menegaskan bahwa tanpa dukungan sistemik berupa pendidikan berkualitas, investasi riset, dan budaya ilmiah yang produktif, potensi ini tidak otomatis menghasilkan inovasi yang berdampak global.[5] Studi kasus negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan menunjukkan bahwa investasi konsisten dalam R&D, kolaborasi internasional, dan ekosistem penelitian yang terstruktur merupakan faktor kunci di balik keberhasilan mereka menembus ranah Nobel. Secara fakta bahwa Jepang telah meraih lebih dari 25 Hadiah Nobel di bidang sains sejak 1949, yang sebagian besar berakar dari kebijakan nasional dalam mendukung penelitian fundamental.

Kondisi Indonesia saat ini menunjukkan bahwa potensi besar belum diimbangi dengan sistem penelitian dan inovasi yang kuat. Sehingga perjalanan 80 tahun merdeka bukan sekadar mempertahankan kemerdekaan politik, tetapi juga tentang bagaimana bangsa ini menempatkan dirinya di panggung inovasi global. Hadiah seperti Nobel menjadi cermin pengakuan atas kapasitas ilmiah dan kontribusi nyata bagi umat manusia, sekaligus menandai kesiapan sebuah negara dalam menghadirkan sains yang berdampak luas.

Hambatan Indonesia

Indonesia, meskipun telah merdeka selama delapan dekade, masih menghadapi tantangan serius dalam membangun ekosistem penelitian yang kompetitif di kancah global. Salah satu hambatan paling mendasar adalah rendahnya investasi dalam riset dan pengembangan (R&D). Adapun alokasi anggaran yang hanya di bawah 0,3% dari Produk Domestik Bruto, Indonesia tertinggal jauh dibandingkan negara-negara maju, bahkan di kawasan Asia Tenggara sekalipun.[6][7] Minimnya pendanaan ini bukan sekadar angka, ini berimplikasi pada kemampuan para ilmuwan untuk melakukan penelitian mutakhir, membeli peralatan laboratorium modern, atau menjalankan proyek jangka panjang yang dapat menghasilkan inovasi dunia.

Kualitas pendidikan dan penelitian masih menjadi persoalan serius. Infrastruktur laboratorium yang terbatas, fasilitas penelitian yang kurang memadai, dan akses ke jurnal serta publikasi internasional yang terbatas membuat banyak peneliti berbakat merasa frustrasi. Tidak jarang, para ilmuwan muda yang memiliki potensi justru memilih “melarikan diri” ke luar negeri, mencari lingkungan akademik yang lebih mendukung dan penghargaan yang lebih pantas. Fenomena ini, yang dikenal sebagai brain drain, mengurangi kapasitas Indonesia untuk mencetak inovasi yang bisa diakui secara global.[8]

Kurangnya kolaborasi internasional menjadi penghalang signifikan lainnya. Sejarah menunjukkan bahwa banyak penghargaan Nobel lahir dari kolaborasi global yang intens, di mana para ilmuwan dari berbagai negara bertukar ide, data, dan metode penelitian.[9] Sayangnya, jaringan penelitian internasional Indonesia masih terbatas, sehingga peluang untuk terlibat dalam proyek besar yang berpotensi menghasilkan penemuan revolusioner menjadi kecil.

Tidak kalah penting adalah budaya ilmiah yang belum matang. Sistem penghargaan internal di lembaga penelitian dan universitas masih minim, insentif untuk publikasi bereputasi tinggi terbatas, dan motivasi peneliti muda belum sepenuhnya terbangun. Akibatnya, inovasi yang potensial seringkali berhenti di tahap awal, tanpa mampu menembus panggung global. Tanpa reformasi menyeluruh yang menyasar pendanaan, pendidikan, kolaborasi, dan budaya ilmiah, Indonesia akan terus menghadapi kesulitan dalam menghasilkan prestasi ilmiah yang sejajar dengan negara-negara yang sudah rutin mencetak pemenang Nobel.

Tantangan BRIN untuk mencetak Peneliti Sekelas pemenang Nobel

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah dibentuk sebagai payung tunggal riset di tanah air, dengan berbagai layanan mulai dari manajemen talenta, repositori ilmiah, pelatihan institusional, hingga pengelolaan koleksi kebun raya dan laboratorium teknologi nuklir. Secara administratif, struktur BRIN tampak lengkap, modern, dan sangat terdokumentasi dengan baik melalui layanan publik, portal daring, serta sistem e-layanan yang beragam.

Namun, di balik sistem yang rapi ini, realitas yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan BRIN untuk mendorong Indonesia meraih Nobel masih terbatas. Banyak program dan layanan yang ada cenderung bersifat administratif dan formalistis misalnya sistem manajemen talenta atau sertifikasi profesi tanpa secara nyata menjawab kebutuhan mendasar penelitian mutakhir yang bersifat inovatif dan kompetitif secara internasional. Ketersediaan fasilitas seperti laboratorium nuklir, repositori ilmiah, atau database mikroorganisme memang penting, tetapi tanpa dukungan dana riset yang signifikan, integrasi penelitian lintas disiplin, dan kolaborasi internasional yang strategis, potensi ini sulit diterjemahkan menjadi penemuan yang diakui dunia.

Yang lebih mengkhawatirkan, sistem yang ada saat ini cenderung menjaring orang berdasarkan ijazah dan sertifikasi formal, sementara banyak individu berbakat yang belajar dan bekerja secara otodidak sering terlewatkan. Ada banyak peneliti, ilmuwan, dan inovator yang memiliki kompetensi luar biasa, tetapi karena tidak sesuai dengan mekanisme sertifikasi atau jalur formal, kontribusi mereka tidak diakui dan potensi mereka terbuang. Fenomena ini menunjukkan adanya disparitas antara kemampuan nyata dan pengakuan formal, yang akhirnya mempersempit basis talenta yang bisa dikembangkan menuju prestasi global.

Banyak layanan BRIN masih fokus pada pengelolaan data, prosedur sertifikasi, dan pelatihan institusional, yang lebih menekankan kepatuhan dan pengelolaan administratif daripada mendorong budaya ilmiah yang produktif dan kreatif. Padahal, Nobel diberikan kepada penemuan yang bersifat transformatif dan berdampak luas bagi umat manusia, bukan sekadar produktivitas administratif atau kepatuhan regulasi. Tanpa insentif yang jelas bagi peneliti untuk mempublikasikan karya mereka di jurnal internasional bereputasi, mengamankan paten, dan mengakses laboratorium kelas dunia, peluang Indonesia mencetak ilmuwan berbasis Nobel tetap tipis.

Solusi dan Rekomendasi

Mendorong Indonesia untuk meraih prestasi ilmiah setara standar dunia, termasuk peluang meraih Nobel, bukanlah tugas yang bisa dilakukan setengah hati. Salah satu langkah yang paling krusial adalah meningkatkan anggaran penelitian dan pengembangan (R&D) secara signifikan, idealnya mencapai 1–2% dari PDB. Tanpa dukungan finansial yang memadai, para peneliti akan terus terbatas pada eksperimen berskala kecil, sulit bersaing di tingkat internasional, dan inovasi bernilai tinggi akan tetap tertahan di laboratorium lokal. Kondisi ini secara implisit menahan laju kemajuan ilmiah bangsa, sekaligus membatasi potensi untuk menembus pengakuan global seperti Hadiah Nobel.

Reformasi pendidikan sains dan teknologi harus dilakukan dari akar. Upaya ini tidak cukup dengan menambah jumlah mata pelajaran sains, melainkan harus membangun budaya berpikir kritis, keterampilan eksperimen, dan kemampuan analitis sejak pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Generasi muda perlu dibiasakan dengan metode ilmiah, pemecahan masalah kompleks, dan keterbukaan terhadap ide baru agar lahir ilmuwan yang benar-benar kompetitif di panggung dunia. Tanpa dasar pendidikan yang kuat, upaya inovasi akan kehilangan fondasi, sementara talenta potensial dapat tersia-siakan karena sistem pendidikan tidak mampu mengenali atau memfasilitasinya secara optimal.

Kehadiran kolaborasi internasional juga menjadi kunci. Ilmuwan dunia yang meraih Nobel jarang bekerja sendirian, bahwa mereka terlibat dalam jaringan global, mengakses laboratorium mutakhir, dan berbagi pengetahuan lintas negara. Indonesia harus membuka pintu bagi peneliti lokal untuk bergabung dalam proyek-proyek global, memperluas wawasan, meningkatkan kualitas publikasi, dan menempatkan penelitian Indonesia di peta sains dunia. Tanpa akses ini, inovasi terbaik sekalipun akan tetap berada di bawah radar pengakuan internasional.

Namun semua upaya tersebut akan sia-sia jika ekosistem penelitian domestik masih lemah. Saat ini, banyak layanan yang ada, seperti sertifikasi dan manajemen talenta, lebih menekankan aspek administratif dan formalitas daripada inovasi kreatif. Sistem yang terlalu terpaku pada ijazah dan sertifikat formal seringkali mengabaikan individu berbakat yang belajar mandiri atau berprestasi di luar jalur resmi. Fenomena ini menimbulkan paradoks, bahwa orang-orang dengan kompetensi nyata terpinggirkan, sementara jalur resmi menjadi penentu pengakuan dan akses terhadap sumber daya. Tanpa fleksibilitas untuk mengenali talenta otodidak, potensi ilmiah bangsa akan terus terkekang.

BRIN, sebagai lembaga pengelola riset nasional, perlu bertransformasi dari institusi administratif menjadi ekosistem inovasi yang produktif, di mana peneliti diberi kebebasan, fasilitas memadai, akses dana, dan jaringan kolaborasi internasional. Apresiasi dan penghargaan nyata terhadap ilmuwan lokal juga sangat penting, tidak sekadar medali atau sertifikat, tetapi pengakuan konkret atas kontribusi ilmiah mereka yang meliputi dana riset, penghargaan publik, dan peluang karier yang menarik. Tanpa langkah-langkah ini, Indonesia akan terus tertahan dalam formalitas administratif, gagal memaksimalkan talenta, dan menunda peluang meraih Nobel pertama yang telah lama dinanti.

Hanya melalui kombinasi strategi finansial, reformasi pendidikan, kolaborasi global, infrastruktur riset yang kuat, dan apresiasi talenta secara nyata, Indonesia dapat membangun kapasitas ilmiah yang tangguh. Sehingga bangsa ini tidak hanya akan meningkatkan kemampuan risetnya, tetapi juga menyiapkan diri untuk suatu hari mendapatkan pengakuan global yang sejajar dengan standar dunia, termasuk peluang meraih Hadiah Nobel pertama bagi tanah air.

Referensi

Aswicahyono, Haryo H, dan Hal Hill. Is Indonesia Trapped in the Middle? Discussion Paper Series, 2015.

Djalante, Riyanti. “A systematic literature review of research trends and authorships on natural hazards, disasters, risk reduction and climate change in Indonesia.” Natural Hazards and Earth System Sciences 18, no. 6 (2018): 1785–810.

Dodani, Sunita, dan Ronald E LaPorte. “Brain drain from developing countries: how can brain drain be converted into wisdom gain?” Journal of the Royal society of Medicine 98, no. 11 (2005): 487–91.

Dong, Yuxiao, Hao Ma, Zhihong Shen, dan Kuansan Wang. “A century of science: Globalization of scientific collaborations, citations, and innovations.” 2017, 1437–46.

Morton, Robert K. “The sociology of science.” Chicago: The University of, 1973.

Putera, Prakoso Bhairawa, Suryanto Suryanto, Sinta Ningrum, Ida Widianingsih, dan Yan Rianto. “Increased number of Scopus articles from Indonesia from 1945 to 2020, an analysis of international collaboration, and a comparison with other ASEAN countries from 2016 to 2020.” Science Editing 9, no. 1 (2022): 62–68.

Serdyukov, Peter. “Innovation in education: what works, what doesn’t, and what to do about it?” Journal of research in innovative teaching & learning 10, no. 1 (2017): 4–33.

Sneis, Jørgen, dan Carlos Spoerhase. “The Nobel Roll of honor: Comparing literatures and compiling lists of Nobel laureates in the early twentieth century.” Orbis Litterarum 78, no. 3 (2023): 147–66.

Tabor, Steven R. Constraints to Indonesia’s economic growth. Asian Development Bank, 2015.

Footnote:

[1] Sneis dan Spoerhase, “The Nobel Roll of honor: Comparing literatures and compiling lists of Nobel laureates in the early twentieth century.”

[2] Morton, “The sociology of science.”

[3] Putera dkk., “Increased number of Scopus articles from Indonesia from 1945 to 2020, an analysis of international collaboration, and a comparison with other ASEAN countries from 2016 to 2020.”

[4] Djalante, “A systematic literature review of research trends and authorships on natural hazards, disasters, risk reduction and climate change in Indonesia.”

[5] Serdyukov, “Innovation in education: what works, what doesn’t, and what to do about it?”

[6] Aswicahyono dan Hill, Is Indonesia Trapped in the Middle?

[7] Tabor, Constraints to Indonesia’s economic growth.

[8] Dodani dan LaPorte, “Brain drain from developing countries: how can brain drain be converted into wisdom gain?”

[9] Dong dkk., “A century of science: Globalization of scientific collaborations, citations, and innovations.”

Tentang Penulis

Ruben Cornelius Siagian lahir di Medan, Sumatera Utara. Dapat dihubungi melalui WhatsApp di +62 821-8574-7176. Dalam dunia akademik, Ruben memiliki jejak digital yang luas, termasuk profil Google Scholar, ResearchGate, Loop, Scopus, dan ORCID, yang menegaskan keterlibatannya secara global dalam riset ilmiah.

Sepanjang tahun 2025, Ruben juga aktif menulis opini di berbagai media nasional dan lokal. Tulisan-tulisannya mengangkat isu-isu politik, sosial, dan akademik, termasuk kritik terhadap rendahnya kualitas jurnal ilmiah, sistem pengaduan rakyat yang ilusi, konflik kepentingan politik, serta isu strategis seperti energi nuklir dan transisi hijau. Opini-opini Ruben menonjol karena ketajamannya dalam menganalisis dinamika politik dan sosial, serta konsistensi dalam mendorong reformasi struktural demi demokrasi dan keadilan sosial.

Dalam ranah penelitian ilmiah, Ruben memiliki karya yang luas dan multidisiplin. Di bidang astronomi dan fisika komputasi, ia meneliti lubang hitam, dinamika piringan akresi, temperatur Hawking, orbit bintang, dan klasifikasi galaksi menggunakan metode numerik dan pembelajaran mesin. Penelitiannya di fisika nuklir dan radiasi mencakup analisis dosis radiasi di sekitar Chernobyl serta distribusi isotop radioaktif, dengan metode statistik, regresi, dan kecerdasan buatan. Di bidang geologi, ia mengeksplorasi dampak gempa terhadap aktivitas vulkanik, sementara di matematika, ia meneliti solusi kuat dan lemah dalam ruang Banach.

Ruben terlibat dalam riset interdisipliner yang menggabungkan lingkungan, kelautan, teknologi, dan analisis sosial. Ia meneliti dampak pembangunan perkotaan terhadap paparan sinar UV, prediksi suhu arus laut dengan algoritma XGBoost dan Random Forest, serta sistem peringatan dini bencana berbasis media sosial. Kontribusinya juga mencakup sintesis material ramah lingkungan, konduksi panas, inverse kinematics untuk robotik, dan IoT untuk monitoring kualitas udara.

Ruben juga aktif dalam kajian kebijakan internasional dan intelijen, termasuk analisis perjanjian pelarangan senjata nuklir (TPNW), kecelakaan helikopter presiden Iran, energi nuklir untuk keberlanjutan, hingga perlindungan aktivis lingkungan melalui kerangka hukum di Indonesia. Semua karya ini menunjukkan komitmennya terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, advokasi demokrasi, dan pemikiran kritis yang membangun. ***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here