“60 Tahun UUPA Berlaku, Pemerintah Dinilai Terus Melanggar Hak Uayat Masyarakat Adat Papua Demi Kepentingan Pengembangan Modal”
SUDAH 60 tahun, tepatnya 24 September 1960, Pemerintah Indonesia memberlakukan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pada 24 September juga ditepapkan sebagai Hari Tani berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (RI) Soekarno Nomor 169 Tahun 1963.
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 terdapat jaminan bagi hak ulayat yang merupakan turunan langsung dari Pasal 18 ayat (2), UUD 1945 yaitu: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang” maka sangat logis jika pada tanggal 24 September 2020 dijadikan pijakan untuk mengukur penghormatan, perlindungan, jaminan dan pemajuan hak ulayat milik masyarak adat oleh pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota dialamnya.
Untuk diketahui bahwa pengakuan hak ulayat secara jelas terlihat pada prinsip dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak-ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi sebagaimana diatur pada pasal 3, Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Sekalipun demikian faktanya, sampai saat ini diusia UUPA yang telah genap 60 tahun ini jaminan bagi hak ulayat yang terus dikorbankan. Fakta itu sangat jelas dirasakan oleh masyarakat adat papua terhitung sejak Kontrak Karya PT.Freeport Mc Morand And Gold Copper Ink dengan Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 7 April 1967 yang dilakukan tanpa melibatkan masyarakat adat papua selaku pemilik hak ulayat papua. Selain itu, dalam kasus pengembangan kebun sawit milik PT. Perkebunan Nusantara II di Arso dan Prafi pada tahun 1983 yang dalam penerbitan ijin HGUnya tidak melibatkan masyarakat adat papua sebagai pemilik hak ulayat. Terlepas dari itu, dalam pemberian HPH kepada PT. DMP di wasior pada tahun 1995 yang dalam penerbitan HPH tidak melibatkan masyarakat adat papua sebagai pemilik ulayat.
Dari mayoritas pengabaian jaminan bagi hak ulayat sejak tahun 1960 – 1995 diatas apabila masyarakat adat papua pemilik hak ulayat menuntut haknya selalu dikerahkan aparat kemanan sehingga berujung bentrok antara masyarakat adat papua dengan aparat kemanan (Konflik Vertikal) dan akhirnya melahirkan Pelanggaran HAM Berat sebagaimana yang terjadi dalam kasus pelanggaran HAM Berat wasior berdarah dimana awalnya marga Yoteni – salah satu pemilik ulayat – menuntut perusahaan agar melunasi pembayaran senilai Rp. 2 milyar. Oleh perusahaan, tindakan masyarakat tersebut dinilai sebagai kendala untuk tetap melakukan produktifitas. Maka aksi masyarakat dibalas oleh perusahaan dengan mendatangkan Brimob untuk melakukan tekanan terhadap masyarakat selain itu dijadikan tameng perusahaan ketika berhadapan dengan protes masyarakat.
Proses dikorbankannya jaminan bagi hak ulayat tidak berhenti disitu, masih terus berlanjut setelah diberlakukannya UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua. Dalam buku Atlas Sawit Papua “ Dibawah Kendali Penguasa Modal” yang ditulis oleh Frangky dan Morgan disebutkan bahwa dalam Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Maibrat, Kabupaten Teluk Bintuni dan Teluk Wondama, Kabupaten Fakfak, Kabupaten Manokwari dan Tambrauw, Kabupaten Keerom, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Sarmi, Kabupaten Waropen, Kabupaten Nabire, Kabupaten Mimika, Kabupaten Asmat, Kabipaten Mappi, Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Merauke, Kabupaten Boven Digoel terdapat 79 HGU yang diberikan pemerintah tanpa sepengetahuan masyarakat adat papua sebagai pemilik hak ulayat papua (baca : https://pusaka.or.id/2015/04/atlas-sawit-papua-dibawah-kendali-penguasa-modal/).
Selain itu, ada juga beberapa SIUP dan IUPK yang pemerintah berikan kepada beberapa perusahaan tambang baik padat maupun cair tanpa sepengetahuan masyarakat adat papua pemilik hak ulayat. Diatas itu semua pengembangan Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Masterplan Percepatan Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 yang diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Masterplan Percepatan Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 pada masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan kini digantikan namanya menjadi Proyek Strategis Negara sebagaimana dalam Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional pada masa Pemerintahan Joko Widodo yang dipraktekan di Propinsi Papua dan Papua Barat mayoritas pemberian ijin kepada perusahaan pengemban tanpa sepengetahuan masyarakat adat papua pemilik hak ulayat papua sebagai contoh yang terjadi dalam kasus Pengembangan Program MIFFE di Merauke.
Fakta pemberian ijin oleh pemerintah kepada perusahaan-perusahaan tanpa sepengetahuan pemilik hak ulayat papua yang dilakukan sebelum adanya UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua menunjukan fakta pelanggaran Pasal 3, Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Sementara pemberian ijin oleh pemerintah kepada perusahaan-perusahaan tanpa sepengetahuan pemilik hak ulayat setelah adanya UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua sangat jelas bertentangan dengan Prinsip Pelaksanaan hak ulayat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dilakukan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat, dengan menghormati penguasaan tanah bekas hak ulayat yang diperoleh pihak lain secara sah menurut tatacara dan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan Prinsip Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya sebagaimana diatur pada pasal 43 ayat (3) dan ayat (4), UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua serta Prinsip Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, dan penanam modal harus melibatkan masyarakat adat setempat sebagaimana diatur pada pasal 42 ayat (2) dan ayat (3), UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua.
Pada prinsip semua sikap pemerintah dalam memberikan ijin kepada semua perusahaan tanpa sepengetahuan masyarakat adat papua sebagai pemilik hak ulayat diatas secara pidana masuk dalam kategori tindakan “barangsiapa dengan maksud yang sama, menggadaikan atau menyewakan tanah dengan hak Indonesia, padahal diketahui bahwa orang lain yang mempunyai atau turut mempunyai hak atas tanah itu” sebagaimana diatur pada Pasal 385 ayat (4) KUHP atau yang diistilahkan dengan “Tindakan Pengelapan Tanah Adat”. Selain itu, masuk dalam kategori Pelanggaran Hak Konstitusional dan HAM sebab melanggar Prinsip Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman sebagaimana diatur pada pasal 28I ayat (4), UUD 1945 junto Pasal 6 ayat (2), UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Berdasarkan uraian diatas Lembaga Bantuan Hukum Papua menyimpulkan bahwa “Selama 60 Tahun UU Nomor 5 Tahun 1950 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Berlaku Pemerintah Terus Mengabaikan Hak Uayat Papua Demi Kepetingan Pengembangan Modal”. Atas dasar itu, dihari ulang tahun UU Nomor 5 Tahun 1950 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang ke 60 Tahun ini, Lembaga Bantuan Hukum Papua menegaskan kepada :
- Presiden Republik Indonesia Cq Gubernur Propinsi Papua Cq Gubernur Propinsi Papua Barat Cq Bupati dan Walikota Se-Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat segera mengentikan pemberian ijin kepada perusahaan tanpa sepengetahuan masyarakat adat papua sebagai pemilik hak ulayat papua yang dijamin pada pasal 28I ayat (4), UUD 1945 junto Pasal 3, UU Nomor 5 Tahun 1950 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria junto Pasal 6 ayat (2), UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
- Masyarakat Adat Papua untuk menuntut secara perdata Pemerintah pemberi ijin kepada perusahaan tanpa sepengetahuan masyarakat adat papua pemilik hak ulayat yang dilindungi dalam pasal 28I ayat (4), UUD 1945 junto Pasal 3, UU Nomor 5 Tahun 1950 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria junto Pasal 6 ayat (2), UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
- Masyarakat Adat Papua apabila masih menemukan fakta pemerintah berikan ijin kepada perusahaan tanpa sepengetahuan masyarakat adat maka segera laporkan Pemerintah dan Perusahaan atas tindak pidana pengelapan tanah adat sebagaimana diatur pada pasal 385 ayat (4) KUHP yang telah dilakukan demi melindungi hak ulayat yang dijamin pada pasal 28I ayat (4), UUD 1945 junto Pasal 3, UU Nomor 5 Tahun 1950 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria junto Pasal 6 ayat (2), UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Demikian siaran pers ini dibuat, semoga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatiannya disampaikan terima kasih. Selamat Merayakan Hari Tani
Siaran Pers LBH Papua, Nomor : 015/SP-LBH-Papua/2020
Jayapura, 24 September 2020
Hormat Kami
LEMBAGA BANTUAN HUKUM PAPUA
Emanuel Gobay, S.H.,MH
(Direktur)
Nara Sumber hubungi :
082199507613