
Secuil Catatan dari Krist Ansaka (*)
“AGAR perut rakyat terisi, kedaulatan rakyat perlu ditegakkan. Rakyat hampir selalu ‘lapar’ bukan karena panen buruk atau alam yang miskin, melainkan karena rakyat tidak berdaya.” Ungkapan Wakil Presiden I, Mohamamad Hatta ini, cocok buat menggambarkan kondisi Papua saat ini. Pasalnya, angka kemiskinan di Papua terus meningkat, sumber daya alam ‘dirampas’, KKB bergerilya di kawasan pegunungan. Sementara itu, polisi sudah mencium ada tindakan korupsi yang merambah di negeri ini.
“Kami memang orang miskin. Di mata orang kota, kemiskinan itu kesalahan,” kata Budayawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Kalimat “di mata orang kota” menurut Pramoedya Ananta Toer, adalah para penguasa. Jadi kalau diterjemahkan secara bebas, para penguasa mengangkap, kemiskinan itu sebuah kesalahan dari rakyat sendiri.
Lagi-lagi rakyat disalahkan. Tapi para penguasa berpestapora di atas penderitaan rakyatnya. Lalu apakah kemiskinan rakyat Papua karena kesalahan rakyat Papua sendiri ? Jawabannya dan argumentasinya pasti beragam. Tapi menurut Wakil Presiden I, Mohamamad Hatta, bahwa rakyat miskin karena rakyat tidak berdaya.
Lalu apa saja yang sudah dan akan dilakukan pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk memberdayakan rakyat Papua sehingga rakyat bisa keluar dari kungkungan kemiskinan?
Saya masih teringat program Rencana Strategi Pembangunan Kampung (Respek) yang menjadi unggulan dari Barnabas Suebu tahun 1997 – 2010, ketika menjadi menjadi Gubernur Papua. Program Respek ini akhirnya hilang ketika Lukas Enembe menjadi Gubernur Papua dua periode (2013 – 2018 dan 2018 – 2023).
Program Respek dihilangkan. Padahal, program ini untuk “kaum tak bersuara” yang juga orang asli Papua yang hidup di kampung-kampung di pegunungan, di lereng-lereng terjal, di lembah, di rawa-rawa, di hulu dan muara sungai, di pesisir serta di pulau-pulau kecil. Mereka tak berdaya dan dililit oleh kungkungan kemiskinan di atas kekayaan sumber daya alam yang menjadi dimiliki.
Respek dijalankan sebagai fondasi atau awal dari satu perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat di kampung-kampung. Inilah awal dari suatu kebangkitan orang asli Papua untuk keluar dari kungkungan kemiskinan yang selama menjerat kehidupan rakyat di kampung-kampung.
TERMISKIN DI INDONESIA
Ketika Lukas Enembe menjadi Gubernur Papua dua periode (2013 – 2018 dan 2018 – 2023) dengan misi untuk menjadikan Papua yang Mandiri dan Sejahtera, hasilnya masih perlu diperdebatkan karena saat ini, rakyat Papua dijerumuskan dalam kubangan kemiskinan, bahkan kubangan itu, kian dalam.
Hal itu terbukti dengan data yang dicatat Badan Pusat Statistik, bahwa angka kemiskinan di 16 daerah masih tinggi dan berada di atas rata-rata nasional yang mencapai 9,22 persen. Dan angkat kemiskinan tertinggi terjadi di Papua dan Papua Barat (CNN, Rabu, 15 Januari 2021)
“Papua masih memiliki persentase kemiskinan yang tertinggi di mana persentase kemiskinannya 26,55 persen. Disusul oleh Papua Barat (21,51 persen),” ujar Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers, Rabu (15/1).
Selain di Papua dan Papua Barat, persentase kemiskinan di atas rata-rata nasional juga terjadi di NTT yang mencapai 20,62, Maluku 17,65, Gorontalo 15,31, Aceh 15, 01, Bengkulu 14,91, NTB 13,88, dan Sulawesi Tengah 13,18 persen.
Tampaknya, data-data yang catat BPS ini, belum dipakai oleh Pemerintah Provinsi Papua untuk menjabarkan visi dan misi gubernur, yaitu Papua Mandiri dan Sejahtera.
Sementara itu, kebijakan politik pemerintah untuk menjadikan Papua sebagai daerah Otonomi Khusus Otsus, sudah berjalan 20 tahun, setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Kebijakan ini untuk mempercepat peningkatan derajat kesejahteraan dan pembangunan ekonomi masyarakat di Papua dan Papua Barat, sehingga pemerintah mengucurkan dana otonomi khusus atau dana otsus.
Lalu apa sebenarnya dana otsus Papua dan Papua Barat? Dana otsus adalah dana bantuan hibah pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi tertentu. Dana otsus diberikan pemerintah pusat sebagai konsekuensi status otonomi khusus. Pasca-reformasi, saat ini ada 3 daerah provinsi dengan status otonomi khusus yakni Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi Aceh.
Dikutip dari Harian Kompas (19/8/2020), dalam nota keuangan beserta APBN 2020 disebutkan, dana otsus Papua terutama digunakan untuk pendanaan pendidikan dan kesehatan. Pada 2015, dana otsus untuk Papua senilai Rp 4,9 triliun dan Papua Barat Rp 2,1 triliun. Dana otsus terus ditingkatkan hingga tahun 2020 menjadi Rp 5,9 triliun untuk Papua dan Rp 2,5 triliun untuk Papua Barat.
Selain dana otsus, dana tambahan infrastruktur juga diberikan. Total dana tambahan infrastruktur untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat ditetapkan Rp 3 triliun pada 2015, meningkat menjadi Rp 4,7 triliun pada APBN 2020.
Percepatan peningkatan kesejahteraan warga Papua juga menjadi prioritas pemerintah di era reformasi. Salah satu caranya, pemberlakuan otsus sejak 2001.
Sejak 2002, dana otsus yang dikucurkan untuk Papua dan Papua Barat mencapai Rp 126,99 triliun. Namun, Papua dan Papua Barat masuk provinsi dengan persentase penduduk miskin terbanyak di Indonesia. Semenjak pertama kali disalurkan, total dukungan dana yang disalurkan meningkat dari waktu ke waktu.
Pada 2002, baru sebesar Rp 1,38 triliun, sementara tahun 2020, menjadi Rp 13,05 triliun Artinya, terjadi peningkatan signifikan, hingga 10 kali lipat semenjak dana ini digulirkan. Bagi Papua, pemberian dana otonomi khusus sebesar itu jelas berkontribusi signifikan bagi penerimaan daerah. Setidaknya, dengan acuan besaran total anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) Papua 2019 yang sebesar Rp 13,9 triliun, 93 persen didukung pendapatan daerah yang diperoleh dari dana otonomi khusus.
Dukungan dana otonomi khusus sejatinya ditujukan bagi pembiayaan pendidikan dan kesehatan, serta dukungan pembiayaan pembangunan infrastruktur. Pengelolaan dana tersebut menjadi kewenangan khusus yang diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.
Di dalam situs Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Papua terinci alokasi pemanfaatan dana otsus tersebut. Di antaranya, terdapat pos anggaran untuk program-program yang disetujui bersama antara provinsi dan kabupaten.
Pada tahun lalu, sebanyak sepertiga dari dana otonomi khusus Papua dialokasikan pada program bersama. Pemanfaatannya digunakan untuk menjalankan program-program bidang pendidikan, seperti pemberian beasiswa unggul.
Selain itu, terdapat program perbaikan kesehatan masyarakat, perumahan, keagamaan, hingga perlindungan sosial.
Di luar program bersama, terdapat program-program inisiatif khusus provinsi ataupun daerah. Porsinya, dua pertiga dari dana otonomi khusus. Seluruh alokasi dana tersebut didistribusikan ke provinsi hingga ke tingkat kabupaten dan kota.
Selanjutnya, setiap daerah memanfaatkan dana guna menjalankan program-program yang menjadi riil dihasilkan dari inisiatif dan kebutuhan warga setempat. Belakangan, Presiden Joko Widodo memutuskan akan memperpanjang pemberian dana otonomi khusus. Namun, Presiden menginginkan evaluasi menyeluruh harus dilakukan.
”Saya minta dilihat lagi secara detail bagaimana pengelolaannya, transparansinya, akuntabilitasnya. Hal itu sangat penting. Good governance-nya, penyalurannya, apakah betul-betul sudah tersampaikan ke masyarakat, apakah sudah tepat sasaran, output-nya seperti apa, kalau sudah jadi barang, barang apa,” ungkap Joko Widodo beberapa waktu lalu.
MENGEJAR PRESTISE KAH ?
Lalu, mengapa rakyat Papua terkukung dalam kubangan kemiskinan yang kian mendalam, sementara penguasanya terus menggelontorkan program-program yang disinyalemen hanya untuk mengejar prestise penguasa ?
Seperti yang dilansir Newguineakurir.com (NGK) belum lama ini, bahwa tahun 2021, Pemerintah Provinsi Papua akan membangun Kantor Gubernur yang baru dengan 22 lantai. Sebelumnya, salah satu situs sejarah. Gedung Genera di Dok V, dibongkar lalu dibangun baru dengan corak dan motif mengikuti selera penguasa. Selanjutnya, “dengan berbagai cara, Pemerintah Papua berhasil merebut kegiatan akbar, PON XX untuk dilaksanakan di Papua yang awalnya direncanakan pelaksanaanya tahun 2020, akhirnya dimajukan ke Oktober 2021.
Inikah sebuah kemajuan ? Salah satu indikator untuk mengukur kemajuan suatu daerah adalah status Indeks Pembangunan (IPM). Menurut data BPS, Indeks Pembangunan (IPM) di Papua terendah dari seleuruh provinsi di Indonesia. Itu berarti, Dana Otsus yang triliun rupiah itu, tidak dapat berkonteribusi dalam pembangunan manusia Papua.
Anehnya, kemiskinan yang melilit rakyat Papua ini, tidak terjadi di kampung-kampung. Tapi juga di wilayah perkotaan. Penduduk miskin di wilayah perkotaan Papua meningkat 0,12 persen menjadi 4,59 persen dari 4,47 persen pada Maret 2020. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat pengangguran dan daya beli masyarakat yang menurun.
Kepala Badan Pusat Statistika BPS Papua Adriana Helena Carolina mengatakan, meningkatnya presentasi penduduk miskin di perkotaan akibat peranan komoditas makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar ketimbang peranan komoditas bukan makanan. Komoditas makanan ini diantaranya beras, rokok kretek filter, ikan kembung, telur ayam ras, dan kue basah.
“Ini terlihat pula presentasi penduduk miskin di wilayah Papua selama enam bulan terakhir yang mengalami peningkatan 0,16 persen poin yaitu dari 26,64 persen pada Maret 2020 menjadi 26,80 persen pada September 2020,” kata Adriana dalam keterangan resminya dikutip dari laman resmi Pemprov Papua, Rabu (17/2/2021).
KKB BERAKSI
Awalnya disebut Organisasi Papua Merdeka (OPM). Tapi, sekitar tahun 2001, muncul satu kelompok yang mengklaim diri dengan nama Tentara Nasional Pembebasan Papua dan dalam aksinya selalu mengatas-namakan “kemerdekaan Papua”. Kelompok ini melakukan tindakan yang menciderai rasa kemanusiaan dengan melakukan tindakan kriminal, seperti : membunuh (sipil dan militer), mencuri, memperkosa, menjarah dan berbagai tindakan kriminal lainnya, sehingga Pemerintah menyebut kelompok ini sebagai KKB – Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua terus bermunculan dan beraksi secara sporadis, terutama di kawasan pegunungan, Papua. Mereka bahkan berani menantang TNI/Polri untuk perang terbuka di satu wilayah tertentu.
Menurut Kepala Polda Papua Irjen Paulus Waterpauw karena secara geografis berada di dataran tinggi. Bentuknya memipih dan banyak jurang terjal sehingga sangat sulit bagi TNI dan Polri melakukan operasi. “Kondisi ini sangat menguntungkan KKB,” papar Paulus seperti yang dilansir detikcom, Jumat (12/2/2021).
Tampanya, aparat keamanan kesulitan menangkapnya juga karena mereka hidup membaur dengan warga lokal. Di pihak lain, warga umumnya dalam perasaan terintimidasi sehingga tak berani melapor. Aparat juga kerap kesulitan mendeteksi karena tak semua paham bahasa yang digunakan.
“Harus dipahami ya, di Papua itu ada hampir 250 bahasa. Mereka tak perlu sandi khusus, masing-masing bicara saja menggunakan bahasa ibu kita pasti tidak paham,” ujar Paulus Waterpauw.
Jenderal Bintang itu mensinyalir, eksistensi KKB, ada yang pernah memanfaatkan untuk kepentingan politik. Mereka diminta menyerang salah satu peserta pemilihan kepala daerah, misalnya. Juga untuk melampiaskan kekecewaan bila ada pihak yang tak mendapatkan proyek.
“Indikasi-indikasi semacam itu terasa tapi butuh pembuktian di lapangan yang tidak mudah,” kata Paulus Waterpauw.
Di Intang Jaya ada banyak KKB di bawah pimpinan orang-orang tertentu yang umumnya pengangguran. Paulus antara lain menyebut Undius Kogoya, Anton Tabuni, Rufinus Tigau, dan Sabinus Waker.
“Mereka adalah free man, tak punya pekerjaan. Lalu merekrut sesama anak muda pengangguran, bila tak mau ikut orang tua mereka diancam dibunuh,” kata Paulus.
Khusus Undius Kogoya, saat ini menjadi Kepala operasi KKB di Intan Jaya. Dia merupakan kakak dari Tandi Kogoya, pelaku penyerangan di area Kantor Freeport di Kota Kuala Kencana, dekat Kota Timika pada 20 Maret 2020. Tandi tewas bersama Manu Kogoya pada 9 April lalu dalam kontak senjata dengan Satgas TNI-Polri di Jalan Trans Nabire. Kematian Tandi, menurut Paulus, membuat Undius menaruh dendam sehingga membuat berbagai aksi kekerasan di Intan Jaya.
Mengapa KKB terus berulah dan cenderung membuat kedamaian di Papua terusik ? Apakah, ada aktor-aktor intelektual atau penguasa di Papua yang “menggerakkan” kelompok ini untuk tujuan tertentu ? Apakah benar, aksi mereka itu untuk Papua merdeka ? Atau apakah aksi mereka itu karena mereka miskin di tanah dan alamnya yang penuh dengan kekayaan itu ?
AKSI KORUPSI
Pertanyaan di atas itu, harus dijawab dengan pembuktian. Tapi yang pasti, rakyat Papua miskin di atas kekayaannya walaupun ada Otsus. Sementara itu, KKB terus berulah. Dan belakangan ini, muncul informasi tentang aksi korupsi.
Aksi korupsi ini sudah tercium pihak kepolisian. Hasil endusan polisi itu, dibeberkan oleh Badan Intelijen Keamanan (Baintelkam) Polri seperti yang disampaikan Karo Analis Badan Intelijen Keamanan Polri Brigjen Achmad Kartiko ketika Rapim Polri 2021.
Aksi ‘main kuda kayu’ ini, tak tanggung-tanggung. Penyelewengannya mencapai Rp 1,8 triliun.
Seperti yang ditulis jpnn (17/2/2021), bahwa dari hasil pendataan Baintelkam Polri, pemerintah sudah menyalurkan dana sebanyak Rp 93 triliun untuk Papua dan Rp 33 triliun untuk Papua Barat. Namun, permasalahan penyimpangan anggaran muncul.
“Pertama adalah temuan BPK bahwa terjadi pemborosan ketidakefektifan penggunaan anggaran,” ujar Kartiko di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (17/2).
Jenderal bintang satu ini menuturkan, ada dugaan mark-up dalam pengadaan fasilitas tenaga kerja, tenaga listrik, dan tenaga surya. Kemudian juga pembayaran fiktif dalam pembangunan PLTA sekitar Rp 9,67 miliar.
“Lalu ditemukan penyelewengan dana sebesar lebih dari Rp1,8 triliun,” tambah dia.
Brigjen Achmad Jartiko menerangkan, Baintelkam Polri juga mendapati adanya penolakan program Otsus Papua.”Muncul kelompok kontra otonomi khusus Papua,” kata Achmad sambil menampilkan paparannya.
Menurut dia, pihak yang menolak itu ada 45 organisasi. Mereka menjadi motor agenda mogok sipil 2019 dengan membentuk kelompok Petisi Rakyat Papua tolak Otsus Papua.
Atas dasar itu, pemerintah telah mengirimkan surat ke DPR meminta adanya perubahan sejumlah pasal yang terkait dengan penggunaan anggaran dana Otsus Papua.
Hal itu mencegah adanya penyelewengan dana oleh oknum tidak bertanggung jawab. “Namun, pemerintah telah mengirimkan ke DPR tentang perubahan otonomi khusus Papua. Ada dua perubahan di sana,” tandas Kartiko.
Inilah sepenggal bukti dari kondisi Papua yang terus jauh dari semboyang Papua Tanah Damai. Lalu, apakah kemiskinan itu karena kesalahan rakyat seperti yang diungkapkan Budayawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer ?
Wakil Presiden I, Mohamamad Hatta perna mengungkapkan, “Agar perut rakyat terisi, kedaulatan rakyat perlu ditegakkan. Rakyat hampir selalu ‘lapar’ bukan karena panen buruk atau alam yang miskin, melainkan karena rakyat tidak berdaya.”
Memang tragis. ***
*Penulis adalah Jurnalis dari newguineakurir.com