
Lebih dari 6.000 jiwa warga terdampak limbah tailing PT Freeport Indonesia yang luput dari tanggung jawab perusahaan dan perhatian pemerintah. Disinyalir, ada sekitar 300 juta ton limbah tailing Freeport (FI) menyebabkan kerusakan sungai hingga pesisir Mimika, Papua Tengah.
JAYAPURA, NGK – Lagi-lagi soal tailing dari PT Freeport Indonesia. Kali ini, ada dugaan, pembuangan tailing itu menyebabkan terjadinya pendangkalan sungai di Pesisir Mimika. Akibatnya, penduduk di tiga distrik di Kabupaten Mimika, jadi korban. Hal ini terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi IV DPR RI di Jakarta pada 1 Februari 2023 atas laporan dari Lembaga Peduli Masyarakat Wilayah Mimika Timur (Lepemawil).
Sudah 11 tahun, Lepemawil menyuarakan dampak Tailing dari Freeport terhadap penduduk di Distrik Mimika Timur Jauh, Jita dan Agimuga. Lepamawil meminta Freeport harus bertanggungjawab. Untuk itu, persoalan ini dibawa ke DPR RI.
Bagaimana perjuangan Lepemawil untuk meminta Freeport bertanggungjawab ? Ikutilah laporan berikut ini :
Pada 1 Frebruari 2023, aporan dari Lembaga Peduli Masyarakat Wilayah Mimika Timur (Lepemawil) dibahas dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi IV DPR RI di Jakarta
Berdasarkan RPD itu, lalu dalam rapat kerja pada 7 Februari 2023, Komisi IV DPR RI menyarankan agar Kementerian Lingkuangan Hidup dan Kehutanan (KLH) untuk melakukan klarifikasi terhadap laporan pendangkalan sungai dan pulau akibat tailing PT Freeport Indonesia yang telah meluas ke daerah-daerah yang bukan merupakan wilayah kontra karya atau di wilayah usaha pertambangan yang mendapat ijin dari diberikan pemerintah.
Menurut laporan dari John NR Gobai, Anggota DPRP Papua yang dikirim via WhatsApp ke NGK (18/3/2023), bahwa berdasarkan hasil koordinasi antar lembaga, maka pada 20 – 24 Februari 2023, Tim Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil – Kementerian Kelautan dan Perikanan mengunjungi Mimika untuk melakukan klarifikasi.
John NR Gobai menyebutkan, tim yang berasal dari Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil – Kementerian Kelautan dan Perikanan ini, telah melakukan pertemuan dengan Lembaga Peduli Masyarakat Wilayah Mimika Timur (Lepemawil), Pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Mimika serta melakukan kunjungan ke daerah pendangkalan sungai.
“Tapi karena terjadi pendangkalan mereka tidak sampai di daerah Puriri, Otakwa, Fanamo, Inauga dan Omoga. Mereka kemudian menerbangkan drone untuk mengecek pendangkalan sungai akibat tailing. Kemudian mereka balik dan mewawancarai beberapa masyarakat di Kampung Karaka,” ungkap John NR Gobai dalam keterangannya itu.
Dijabarkan juga, pada 22 Februari 2023, John NR Gobai melakukan pertemuan dengan sejumlah tokoh masyarakat seperti Minggus Kapiyau, beberapa tokoh pemuda dari suku Sempan dan Amungme yang berasal dari Mimika Timur Jauh, Jita dan Agimuga.
Pada 23 Februari 2023, Tim yang berasal dari Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil – Kementerian Kelautan dan Perikanan mendengar pendapat dari tokoh masyarakat Jita, Mimika Timur Jauh dan Agimuga serta Lemasko.
Dalam pertemuan itu terungkap, bahwa pasang surut air adalah hal yang biasa di Mimika. Namun ada hal yang luar biasa adalah pendangkalan sungai di Pesisir Mimika yang disebabkan oleh Tailing dari PT Freeport. Tailing berupa pasir halus yang mudah saja menyebar ke arah timur dan barat di luar dari areal kerja Freeport.
“Untuk itu Freeport tidak boleh mengatakan kalau pendangkalan itu di luar wilayah kerja dan bukan tanggung jawab PTFI. Tapi Freepot harus bertanggungungjawab karena akibat penangkalan itu, penduduk di tiga tiga distrik timur jadi korban yang harus mendapat kompensasi dari Freeport,” begitulah pernyataan yang terungkap dalam pertemuan itu, seperti yang dilaporkan John NR Gobai kepada NGK.
Dalam pertemuan dengan Tim yang berasal dari Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil – Kementerian Kelautan dan Perikanan, Peter Pogolamum dan Pius Saupetaka, meminta agar harus ada pertemuan bersama antara Lepemawil, Freeport dan Pemerintah untuk mencari solusi sehingga rakyatb tidak menjadi korban dari PT Freeport.
“Dulu Freeport mengeruk sungai untuk membangun Portsite dan PAD 11. Mengapa hari ini Freeport tidak bisa mengeruk Tailing dengan Kapal Keruk agar keluhan masyarakat selama 11 tahun yang disuarakan Lepemawil Timika dapat diatasi,” ungkap Minggus Kapiyau, tokoh Masyarakat Mimika Wee.
Selain itu, Wanes Mauwama dari Suku Sempan mengatakan, bahwa akibat pendangkalan itu, masyarakat sulit mencari ikan. “Kami sangat merasakan dampak dari pendangkalan itu. Kalau kami mau melaut untuk mencari ikan, kami bermalam di jalan sambil menunggu air pasang di Rumah Singgah Omoga Pantai. Begitu juga kalau menjelang hari raya seperti Natal, kami hendak membeli kebutuhan Natal tapi kami harus meninggu sampai air pasang. Kami selalu jadi korban,” Wanes Mauwama.
Persoalan ini pernah menjadi sorotan media massa, seperti Partal Berita, BETAHITA.ID, Suarapapua.com. Jubi.id, Voaindonesia.com, Dikita.id dan masih banyak lagi.
Dalam BETAHITA.ID, pada 3 Februari 2023 ditulis, bahwa lebih dari 6.000 jiwa warga terdampak limbah tailing PT Freeport Indonesia luput dari tanggung jawab perusahaan dan perhatian pemerintah. Sekitar 300 juta ton limbah tailing Freeport (FI) menyebabkan kerusakan sungai hingga pesisir Mimika, Papua Tengah.
Sekitar 300 juta ton limbah tailing PT FI setiap harinya merusak sungai hingga muara di Mimika. Warga turut menanggung pencemaran ini karena pendangkalan hingga menyebarnya bibit penyakit.
Dampak ini dialami warga Suku Sempan, Amungme, Kamoro, terutama warga yang tersebar di 23 kampung di Distrik Jita, Distrik Agimuga, dan Distrik Mimika Timur Jauh. Anggota DPR Papua, John Gobay dan perwakilan Yayasan Lepemawi, Adolfina Kuum, mengungkap PT FI selama ini tidak melakukan apapun untuk menanggulangi hal ini.
Pada Rapat Dengan Pendapat (RDP) di Komisi IV DPR RI Rabu, (01/02/2023), mereka mendesak pemerintah untuk segera melakukan audit atas seluruh operasi pertambangan Freeport, terutama dampaknya terhadap warga dan lingkungan.
“Pendangkalan atas sungai-sungai oleh limbah tailing itu nyata terjadi. Kehidupan warga suku Kamoro dan Sempan, yang dikenal budaya 3S (sungai, sampan, dan sagu) mulai hilang,” ujar John Gobay.
Dolim sapaan Adolfina Kuum, mempertanyakan ketakberdayaan negara di hadapan sejumlah kejahatan Freeport atas warga dan lingkungan Papua.
“Pemerintah dan Freeport telah mencuri kekayaan orang Papua. Sementara kejahatan yang dilakukan perusahaan tak pernah dilakukan penegakan hukum, apalagi dilakukan pemulihan dan ganti rugi atas segala kerusakan,” ujar Doli.
Terpisah, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), M. Jamil, menyebutkan akuisisi saham Freeport sebesar 51 persen tak membuat kedaulatan pemerintah Indonesia menjadi kuat dalam mengatur Freeport agar taat dan patuh pada hukum dan peraturan yang berlaku.
“Sedang berlangsung pagelaran pelanggaran hukum yang dilakukan secara bersama oleh korporasi dan negara dengan melakukan pembiaran atas praktik kejahatan tanpa adanya penegakan hukum. Hal ini jelas menunjukkan pembangkangan oleh korporasi–negara secara terang-terangan terhadap konstitusi UUD 1945,” tegas Jamil.
Menurut Jamil, pembiaran atas seluruh tindak kejahatan itu tidaklah mengherankan. Pasalnya, pemerintah Indonesia telah berkali-kali kehilangan akal sehat dan tunduk pada Freeport.
Pertama, Presiden Megawati pada 2004 menerbitkan Keppres yang melegalkan 13 perusahaan tambang yang lahannya tumpang tindih dengan hutan lindung diizinkan melanjutkan kegiatan operasionalnya di kawasan tersebut hingga kontraknya berakhir, Freeport menempati nomor urut pertama.
Kedua, Kementerian ESDM RI, menghapus Permen ESDM Nomor 11/2014 dengan mengeluarkan Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2016, yang akhirnya memberikan keleluasaan bagi Freeport untuk tetap melakukan ekspor bahan tambang mentah konsentrat ke luar Negeri.
Ketiga, Kementerian LHK yang kehilangan akal sehat pada 2018, saat menemukan 22 kegiatan melanggar Amdal, salah satunya perluasan ukuran tambang terbuka Grasberg dari 410 hektare menjadi 584 hektare, menjadikan lima sungai sebagai tempat pembuangan limbah beracun (merkuri dan sianida), bukannya melakukan penegakan hukum, justru malah menerbitkan surat agar Freeport menyusun Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH).
Keempat, temuan BPK yang menyebutkan terdapat kerugian negara mencapai Rp 185 triliun akibat saat operasi produksi, Freeport menggunakan kawasan hutan lindung seluas minimal 4.535 hektare tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan ( IPPKH).
Menurutnya model pelibatan masyarakat ala Freeport melanggar ketentuan Pasal 26 UU PPLH 32/2009 dan turunannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup 17/2012 Tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses Amdal dan Izin Lingkungan. Jika proses tersebut tetap diteruskan oleh Freeport bersama Menteri LHK maka amdal dan perizinan lingkungan yang dihasilkan cacat prosedur dan cacat yuridis sehingga harus batal demi hukum.
Menanggapi persoalan pendangkalan sungai dan keluhunan masyarakat, John NR Gobai menyarankan, tiga hal, yaitu :
Pertama, Perlu ada pertemuan anatar Lepemawil, Freeport dan Pemerintah untuk mencari solusi. Perrtemuan ini bisa difasilitasi oleh Komisi IV DPR RI sebagai lanjutan dari proses yang sedang berjalan.
Kedua, Freeport harus menyediakan kapal keruk untuk mengeruk Tailing.
PT Freeport haruslah mengakui, bahwa penduduk di Distrik Mimika Timur Jauh, Jita dan Agimuga adalah korban yang harus mendapat kompensasi dari Freeport. (Krist Ansaka)