Mencari bia (kerang), memberishkan sampah plastik dan menanam pohon mangrove (bakau) serta mengajak kaum perempuan untuk menjaga hutan mangrove. Semuanya ini dikerjakan dengan sadar dan sukarela di Tonotwiyat (hutan perempuan di Teluk Youtefa.
JAYAPURA, NGK – Pagi itu, 10 tahun yang lalu, ketika surya menampaknya sinarnya di Teluk Youtefa, Mama dari enam orang anak ini sudah sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Setelah anak-anaknya berangkat sekolah, ia langsung menuju Hutan Bakau (mangrove) untuk mencari bia (kerang), sekaligus membersihkan sampah plastik yang bertebaran di akar-akar mangrove. Tidak hanya membersihkan sampah, tapi mama jebolan diploma Akademi Sekretaris dan Manajemen Indonesia (ASMI) Jayapura itu, juga menanam pohon Mangrove.
Dialah, Petronela Meraudje. Mama berusia 42 tahun ini, secara sadar dan sukarela mengabdikan dirinya untuk merawat Hutan Mangrove yang tak jauh dari Kampungnya, Injros (sebutan yang sebenarnya dari Enggros) di Kota Jayapura.

“Saya sadar dan dengan sukarela menjaga hutan mangrove karena Hutan Mangrove adalah Hutan Perempuan bagi kami masyarakat adat di Teluk Youtefa. Di hutan mangrove inilah, kami kaum perempuan, bisa saling bercerita tentang berbagai hal, termasuk masalah adat. Kalau di para-para adat, kami kaum perempuan, tidak mempunyai hak untuk berbicara, maka di Hutan Perempuan, kami dapat berbicara antara kami sesama perempuan. Kaum lelaki pun menghargai, kawasan hutan mangrove sebagai hutan Perempuan, atau kawasan berdemokrasi, khusus bagi kaum perempuan,” ungkap Petronela Meraudje kepada NGK ketika ia bercerita tentang kisahnya menjaga Teluk Youtefa, khususnya Hutan Mangrove.
Kesadarannya menjaga hutan mangrove ditopang oleh para aktivis lingkungan dari Rumah Bakau dan juga berbagai pihak lainnya, sehingga Mama Petronela Meraudje terus mengajak rekan-rekannya yang lain untuk ikut menjaga hutan mangrove (hutan perempuan).
Kesadarannya itu, tanpa ambisi untuk mendapat pangkuan atau mendapatkan hadiah. Walau begitu, aktivitas Petronela Meraudje menjadi perbincangan, baik di lingkungan para aktivis lingkungan maupun instansi pemerintahan di Jayapura.
Tahun 2023, ketika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan memberikan penghargaan Kalpataru ke 412, seperti yang dilakukan setiap tahun, lalu Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua membentuk satu tim untuk mencari dan menjaring para bakal calon penerima Kalpataru dari Papua.

Dari sejumlah nama yang dijaring sebagai bakal calon penerima Kalpataru dari Papua, nama Mama Petronela Meraudje diajukan sebagai calon penerima Kalpataru- Penghargaan tertinggi dari Pemerintah.

Di tingkat Nasional, Petronela Meraudje harus bersaing dengan 368 orang calon. Dari jumlah itu, ada dua orang yang dinilai pantas menerima Penghargaan Kalpataru sebagai Pembina, yaitu : Mama Petronela Meraudje dari Kampung Injros, di Kota Jayapura, Papua dan Nugroho Widiasmadi dari Jawa Tengah.
Mendapat kabar kalau Mama Petronela Meraudje ditetapkan sebagai penerima Kalpataru katagori pembina, lalu Kepala Dinas Kehutanan dan Liungkungan Hidup Provinsi Papua, Jan Jap Ormuseray dan timnya memfasilitasi Perempuan dari Injros ini, terbang ke Jakarta untuk menerima Penghargaan Kalpataru.

Tepat 5 Juni 2023, bertepatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Mama Petronela Meraudje, tampil dengan busana adat Papua di Gedung Manggala Wanabakti KLHK, Jakarta. Saat itu, semua mata terpaku ke penampilan kitong pung mama yang satu ini, ketika Menteri LHK Siti Nurbaya menyerahkan penghargaan Kalparu kepada perempuan asal kampung Injros itu.
Tepuk tangan bertambah riuh, ketika Mama Petronela Meraudje menyampaikan pidatonya di hadapan menteri, dan pejabat Negara lain.

Dalam pidatonya, Mama Petronela menceritakan kisahnya menjaga hutan perempuan di kampung Injros di Teluk Youtefa, Kota Jayapura. Menteri LHK dan pejabat Negara lainnya benar-benar terpaku mendengarkan kisah perempuan Injros ini menjaga hutan Mangrove yang disebut Hutan Perempuan, atau dalam Bahasa Injros disebut Tonotwiyat. Tonot artinya hutan bakau dan Wiyat artinya ajakan untuk datang. Petronela berkisah bahwa perempuan dari kampung Injros akan masuk ke Tonotwiyat untuk mencari kerang dengan berkelompok 3-5 orang menggunakan kole-kole. Kerang-kerang yang didapat itu akan dikonsumsi sendiri atau dijual per tumpuk di pasar tradisional yang terdekat.

Satu yang unik, para perempuan akan melepaskan seluruh pakaiannya alias telanjang saat mencari kerang. Karena Tonotwiyat terlarang untuk laki-laki, tak akan ada yang berani mengintip aktivitas para perempuan Enggros. Selain menjadi tempat perburuan, hutan adat ini juga menjadi tempat untuk bercengkerama dan curhat. Selama Tonotwiyat, mereka akan saling ngobrol tentang keluarga, urusan dapur, hingga anak dan juga masalah-masalah adat.
Di hadapan Menteri LHK Siti Nurbaya, Mama Petronela bercerita, bahwa laki-laki sangat diharamkan menginjakkan kaki di hutan perempuan. Siapapun yang melanggar akan dikenai sanksi adat berupa manik-manik yang dianggap berharga.
“Keberedaan hutan perempuan menjadi simbol pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan di struktur sosial. Kaum laki-laki bertugas mencari ikan di laut, sedangkan perempuan mencari kerang di hutan bakau. Prinsip ini sangat dipegang teguh oleh masyarakat Injros. Dalam hukum adat Injros, posisi sangat istimewa sehingga tidak boleh diperlakukan layaknya budak atau semena-mena,” ungkap Mama Petronela.
Tepuk tangan riuh dalam di Gedung Manggala Wanabakti KLHK, Jakarta mendengar pidato Mama Petronela.
****

Kabar tentang Mama Petronela menerima Kalpatru sampai juga di telinga Mantan Gubernur Papua, Barnbas Suebu. Lalu, mantan gubernur Papua ini mengundang Mama Petronela melalui Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua, Jan Jap Ormuseray.
“Saat makan bersama, Barnbas Suebu berpesan, “Mama dan saya punya tanggungjawab yang sangat besar. Saya akan datang ke Jayapura dengan satu tim dan kita akan tanam bakau di Hutan perempuan,” ujar Barnabas Suebu.
Setelah beberapa hari di Jakarta mengikuti sejumlah kegiatan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta dan Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua, lalu Mama Petronela dan Tim terbang pulang ke Jayapura.
Hari itu, Sabtu, 10 Juni 2023, sekitar pukul 07.00 Waktu Papua, Mama Petronela dan tim dari Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua. tiba di Bandara Theys Hiyo Eluay di Sentani, Jayapura. Bak seorang pahlawan, Mama Nela (nama panggilan untuk mama Petronela) disambut meriah, bahkan para jurnalis menyambut mama Nela. “Selamat datang, Mama Nela,” begitulah, ungkapan yang terlontar dari Gamel, jurnalis yang juga aktivis lingkungan di Rumah Bakau.
Dari Bandara Theys Hiyo Eluay di Sentani, Mama Nela langsung diarak mengelilingi Kabupaten dan Kota Jayapura hingga finis di Pantai Ciberi atau Pantau Tanjung Kasuari. Di pantai ini, Mama Nela disambut Ondoafi Kampung Injros, Niko Maraudje dan masyarakat adat lainnya serta Komandan Lantamal X Jayapura yang menjadikan Kampung Injros sebagai Kampung Binaan Lantamal X Jayapura.

“Hal baik yang didapatkan mama Nela ini bukan muncul tiba-tiba karena Kalpataru, tetapi penghargaan diberikan karena inisiatif pribadi salah satu perempuan adat di Kampung Injros selama 10 tahun beraktifitas di hutan mangrove mencari kehidupan untuk kebutuhan keluarga,” kata Kadis KLH Provinsi Papua, Jan Jap Ormuseray.
Jan Jap Ormuseray harapkan usai menerima penghargaan Kalpataru, Mama Nela semakin terus mengabdikan diri untuk mengajak dan menjadi inspirasi terhadap kelompok lainnya, individu agar menjaga hutan dan lingkungan dari ancaman sampah.
“Hutan mangrove menjadi tempat beraktifitas sehari-hari, seiring dengan waktu sampah di kawasan tersebut terus meningkat, Mama Nela bersama Rumah Bakau terus lakukan hal positif ini. Dan Mama Nela dan rekan-rekan di Rumah Bakau akan terus mengabdikan hidupnya untuk menolong orang lain dan hutan mangrove tetap terpelihara dengan baik,” tutur Kadis KLH Provinsi Papua, Jan Jap Ormuseray.
Sementara Mama Petronela Meraudje merasa dapatkan Kalpataru bukan semata kehebatannya, tetapi karena Tuhan dan kerja kerasnya bersama perempuan Injros dan rekan-rekan di Rumah Bakau untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hutan Mangrove.

“Kalpataru ini menjadi motivasi buat saya lagi dan memotivasi buat semua perempuan-perempuan Port Numbay dan seluruh masyarakat Papua untuk menjaga dan melestarikan hutan alam yang sudah Tuhan berikan, ketika kita lakukan dengan hati, maka Tuhan pun akan melihat itu dan memperhitungkannya,” ungkapnya.
Ia sangat berharap bukan hanya dirinya yang peduli terhadap lingkungan, tetapi seluruh masyarakat Papua. Pasalnya masalah lingkungan bukan hanya pekerjaan kelompok, ataupun diri sendiri, melainkan pekerjaan rumah bersama dalam memerangi sampah dan peduli terhadap lingkungan dan hutan.
“Penghargaan ini bukan kehebatan, tetapi juga bantuan teman-teman pemerhati lingkungan, dan dinas terkait untuk ikut membantu menyuarakan bahwa benar-benar hutan perempuan itu ada. Dan ketika saya dapatkan kalpataru ini, saya juga bertanggung jawab penuh untuk melakukan itu semasa hidup. Saya harapkan ada petronela lain dari Papua dengan pekerjaan yang sama menjaga dan melestarikan lingkungan alam sekitar ditanah Papua,” ujarnya.
Selamat buat Mama Nela, dan Gamel di Rumah Bakau serta Selamat untuk Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua. (Krist Ansaka)