JOHN NR Gobai, Ketua Fraksi Otsus DPR Papua ini, terus menunjukan keberpihakannya terhadap orang asli Papua, adat dan sumber daya alamnya. Berikut ini, ikutilah sekilas perjalanan John NR Gobai di Kabupaten Mimika :
Siang itu, 14 Juni 2022, saya berkunjung ke Kampung Pigapu, Distrik Iwaka, Kabupaten Mimika. Di sana, saya bertemu mama-mama yang sehari-hari bergelut di hutan Mengrove atau orang di Mimika menyebutnya mangi-mangi. Mereka mengambil daun Mangrove jenis Acanthus ilicifilius untuk diolah menjadi teh yang kemudian diberi nama Teh Acanthus.
Saat itu, seorang mama dengan bersemangat menunjukkan teh Acanthus buatannya. Perempuan separuh baya ini menunjukkan bagaimana teh mangrove itu dibuat, proses penyeduhan dan khasiatnya.
Perempuan itu menjelaskan bahwa untuk dijadikan bahan membuat teh, diambil bagian daun, tujuh helai daun bagian atas, jenis daun yang muda. Daun-daun ini kemudian dibersihkan dengan air bersih, lalu dikeluarkan bagian tulang dan durinya, dipotong kecil-kecil lalu kemudian dijemur paling lama seminggu. Setelah kering, daun yang sudah dicacah (dipotong kecil-kecil) itu, dimasukan dalam gelas dan siram air panas lalu siap dihidangkan.
“Daun yang sudah dikeringkan Ini, dimasukan dalam gelas lalu siram air panas kemudian diminum untuk kesehatan,” begitulah komentar seorang Mama pra baya kepada John NR Gobai di rumah produksinya.
Biasanya dari 5,5 kg yang diambil di alam akan menghasilkan 3,5 kg cacahan daun yang masih basah, setelah dikeringkan akan 900 gram cacahan kering yang siap diseduh.
Begitulah, sekilas gambaran dari kunjungan Ketua Fraksi Otsus DPR Papua di Kampung Pigapu, Distrik Iwaka, Kabupaten Mimika, Papua. Lalu bagaimana komentarnya terhadap teh Acanthus atau teh mangi-mangi itu ?
“Ini sebuah inovasi yang juga diperkenalkan oleh beberapa institusi yang telah bekerja di Kampung Pigapu. Inovasi ini adalah sebuah model yang perlu juga dikembangkan di daerah-daerah lain di Papua yang mempunyai potensi mangrove cukup besar,” kata John NR Gobai kepada NGK di ruang kerjanya, ketika ia menerima tamu dari Balai Besar Pengawas Obat & Makanan (BBPOM) Jayapura, dan berdiskusi tentang Teh Acanthus.

“Kami dengan kepala BPOM Jayapura mediskusikan untuk kemungkinan dapat melakukan kunjungan ke Kampung Pigapu untuk dapat melihat secara langsung pengolahan mangrove menjadi teh yang dilakukan oleh Mama mama Komoro agar BPOM dapat membantu untuk memproses sertifikasi agar dapat memperoleh izin edar,” kata Gobai.
Gobai memberi apresiasi kepada Balai POM yang telah datang ke kantor DPRP untuk dapat berdiskusi melanjutkan aspirasi yang disampaikan oleh mama mama di Kampung Pigapu di Kabupaten Mimika.
Menurut Gobai, pembuatan Teh Acanthus perlu menjadi pelajaran bagi kabupaten-kabupaten yang lain yang mempunyai potensi mangrove agar keluarga mereka mendapatkan manfaat dari pengelolaan mangrove seperti yang dilakukan oleh mama-mama di Kampung Pigapu.
Kata Gobai, inovasi pengolahan mangrove yang dilakukan oleh mama-mama Mimika di Kampung Pigapu ini, perlu mendapatkan dukungan dari pemerintah kabupaten dan provinsi. Apalagi wilayah Selatan Papua ini terdapat hutan mangrove yang sangat luas yang juga menjadi sumber penghidupan dari masyarakat Mimika, Asmat dan Mapi.
“Kementerian Kehutanan dan Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua agar dapat memberikan perhatian yang serius atau menetapkan Kampung binaan atau Kampung model untuk pengelolaan mangrove di Provinsi Papua. Kemudian terus dilakukan pembinaan ditambahkan lagi dengan alat-alat produksi yang diperlukan oleh Mama yang yang mengerjakan atau mengolah mangrove menjadi teh ataupun juga produk-produk yang lain,” kata John NR Gobai.
Mama-mama di Kampung Pigapu ini, tergabung dalam Kelompok Tani Hutan (KTH) Pigapu Aimaporamo yang memproduksi Teh Acanthus yang berasal dari daun mangrove jenis Acanthus ilicifilius berasal dari keluarga Acanthaeceae yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama Jeruju. Masyarakat di Kampung Pigapu menyebutnya, Ndoa. Tanaman sejenis semak ini banyak digunakan di pesisir pantai, mudah dikenali dari daunnya dan batangnya yang berduri.
Untuk memperoleh tanaman ini mereka harus mengambilnya di lokasi yang agak jauh dari permukiman menggunakan perahu. Sebelum diambil di alam, mereka melakukan ritual meminta izin kepada leluhur dengan memberi tembakau disertai nyanyian puja-puji, kegembiraan dan harapan mereka.
“Diyakini kalau teh Acanthus ini mengandung bahan anti-oksidan, memberi banyak manfaat bagi kesehatan dan bagus untuk penderita diabetes. Orang-orang dari kehutanan rajin minum teh ini setiap hari, dan bahkan mereka sudah punya tea shop di kantor,” ungkap Dendy Sofyandi, Direktur Yayasan Ekologi Sahul Lestari yang dalam beberapa tahun terakhir mendampingi kelompok mama-mama di Kampung Pigapu
Menurut Dendy, awalnya produksi teh di Pigapu dimulai dari program Indonesia Forestry and Climate Support (IFACS)-USAID pada tahun 2014 yang dilaksanakan oleh Blue Forests berupa sekolah lapang pesisir. Ada beberapa lokasi pelaksanaan program tersebut, termasuk di kampung Pigapu. Sekolah lapang dilakukan beberapa minggu yang dilanjutkan dengan pendampingan intensif. Pesertanya adalah ibu rumah tangga berjumlah 22 orang (Situs Berita Lingkungan, “Mongabay”, 3 February 2022)
“Di sekolah lapang itu mereka belajar tentang mangrove dan potensinya secara ekonomi jika dikelola dengan baik. Mereka mau, lalu uji coba dan mereka tertarik, sehingga kita dampingi terus.” ujar Dendy.
Lebih lanjut Dendy menjelaskan, mangrove jenis Acanthus ilicifilius atau Jeruju dipilih sebagai produk yang diajarkan selain karena memiliki ketersediaan yang melimpah di alam, juga yang paling mudah dilakukan, tak butuh modal banyak, tinggal ambil dan keringkan.
Jeruju sendiri selama ini tidak diketahui manfaatnya oleh warga, meski banyak ditemui di wilayah pesisir. Ketika program ini dikenalkan tak semua warga mau terlibat termasuk Berlinda sendiri. Warga mulai tergerak ketika diketahui manfaat teh
Produksi teh terus dilanjutkan dan bahkan dikembangkan menjadi produk rumah tangga yang bernilai ekonomis. Produk mereka mulai ditampilkan di sejumlah pameran.
Meski telah berkembang dengan baik, memiliki izin Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) dan telah dipasarkan secara luas, produk ini belum memiliki izin dari Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Alasannya, untuk disebut sebagai produk teh maka harus memiliki kandungan teh secara spesifik, sementara produk ini tidak memiliki kandungan teh, hanya penamaan saja karena cara seduhnya mirip teh pada umumnya.
“Solusinya, nanti kita ubah namanya sehingga tidak lagi disebut teh, tapi sebagai minuman herbal saja,” ujar Dendy. (Krist A)