Suatu Perspektif Yuridis
Oleh : Sam Pakage
PROVINSI Papua bakal dimekarkan menjadi beberapa provinsi. Rencana pemekaran ini, menjadi pro dan kontra, sehingga menjadi “bola liar” .
Pasal 76 UU Otsus Papua No 21 Tahun 2001 merupakan senjata pamungkas bagi Papua dalam hal pemekaran, karena Undang-Undang telah memberikan hak kekhususan, hak istimewa, kepada Papua. Namun, yang sangat menarik adalah, dalam kasus pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat (sekarang Provinsi Papua Barat), adalah pemaksaan Jakarta di luar aturan. Telah terjadi pelecehan terhadap konstitusi yang disahkan oleh Negara itu sendiri.
Pada waktu itu, Provinsi Irian Jaya Barat (sekarang Provinsi Papua Barat) berdiri atau terbentuk berdasarkan “UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong”.
Pada saat pembahasan UU No 21 Tahun 2001, keberadaan provinsi berdasarkan UU Nomor 45 Tahun 1999 ini turut dibahas. Provinsi Papua pada waktu itu berpendapat bahwa “tidak ada provinsi lain di Tanah Papua selain Provinsi Papua”, maka dalam UU Otsus No 21 Tahun 2001 hanyalah diakui satu provinsi saja yaitu *”Provinsi Papua”. Tidak dimaksudkan untuk mengakomodir Provinsi Irian Jaya Barat (sekarang Provinsi Papua Barat) yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 45 Tahun 1999 tersebut.
Dengan disahkan UU Nomor 21 Tahun 2001, maka hanya menyebut Provinsi Papua dan provinsi yang lain sudah dianggap tidak ada oleh UU ini. Itu sebabnya dalam pasal 76 UU Nomor 21 Tahun 2001 disepakati ketentuan bahwa “Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi – provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang”.
Pada masa Pemerintahan Megawati Soekarnoputri, pelaksanaan pasal 76 UU Otsus Papua tercederai dengan dikeluarkannya Inpres No 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan UU No 45 Tahun 1999.
Pemerintahan Megawati Soekarnoputri memandang bahwa pemekaran Papua memiliki nilai strategis untuk meredam dan mempersulit upaya disintegrasi karena secara formal akan ada tiga Provinsi yaitu Provinsi Papua, Provinsi Irian Jaya Barat dan Provinsi Irian Jaya Tengah. Namun dengan lahirnya Inpres Nomor 1 Tahun 2003 ini justru Jakarta telah membuka pintu secara paksa, otoriter dan arogan. Jakarta telah mempertontonkan sikap tidak konsisten dalam menjalankan amanat UU Otsus Papua.
Berdasarkan uji materil, maka pada tanggal 11 November 2004, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan abu-abu, bahwa UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong jo UU Nomor 5 Tahun 2000 tidak lagi mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun, keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 45 Tahun 1999 tersebut tetap dinyatakan sah. Pertimbangannya bahwa Pembentukan Irian Jaya Barat secara faktual/kenyataannya telah berjalan efektif.
Putusan MK tersebut sangat kuat dengan nuansa politik. Keputusan ini menjadi kekuatan untuk mengakomodir Provinsi Irian Jaya Barat. Padahal kenyataannya tidak memiliki legal standing. Seharusnya sesuai aturan Provinsi Irian Jaya Barat (sekarang Provinsi Papua Barat) tidak sah dan musti dibubarkan. Putusan MK ini telah mengkhianati UU Otsus Papua No 21 Tahun 2001.
Pada waktu itu, pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dengan berkedudukan di Timika tidak berhasil karena rakyat papua (masyarakat 7 suku: Amungme, Mee, Damal, Nduga, Moni dan Dani) bersatu menolak secara tegas. Sempat terjadi perang antara kelompok pro pemekaran dan kontra dan akibatnya sekitar 9 orang meninggal dunia kena anak panah.
Misi Jakarta untuk melakukan pemekaran Provinsi Papua menjadi bebeberapa provinsi selama ini terganjal dengan pasal 76 UU Otsus Nomor 21 Tahun 2001 sehingga untuk memuluskan jalan, Jakarta secara paksa, arogan dan otoriter telah melakukan perubahan tahap kedua UU Otsus (UU Otsus No 2 Tahun 2021).
Dalam perubahan tahap kedua ini, pasal 76 UU Otsus telah membuka salah satu pintu kewenangan DPR dan Pemerintah Pusat untuk melakukan pemekaran tanpa harus menunggu rekomendasi dari DPRP dan MRP sesuai amanat konstitusi pasal 76 UU Otsus Papua No 21 Tahun 2001. Namun, pintu kewenangan bagi DPRP dan MRP dalam melakukan pemekaran sesuai pasal 76 ayat (1) tidak dihilangkan atau dihapus, sehingga perubahan kedua UU Otsus pasal 76 ini telah membuka ruang konflik baru antara kewenangan DPRP dan MRP lawan kewenangan DPR RI dan Pemerintah Pusat.
Dalam perubahan kedua UU Otsus Papua, pasal 76 ayat (1) hak konsitusi bagi Papua dalam hal pemekaran masih terbuka lebar. Belum ditutup/dihapus. Hak kekhususan, hak Istimewa yang diberikan oleh UU masih berlaku. Oleh karena itu, DPRP, MRP, serta rakyat papua apabila menolak pemekaran, maka itu sesuai hak konstitusi bukan tindakan diluar konstitusi. Perubahan kedua UU Otsus pasal 76 ini telah menimbulkan multitafsir.
Pemekaran yang sesungguhnya sesuai amanat konstitusi, musti berangkat dari bawah, bukan dipaksakan dari atas. Pemerintah atau Negara harus mampu mengakomodir aspirasi dari bawah agar memperkecil ruang konflik. Jika tidak, bisa saja terulang kembali peristiwa timika berdarah pada saat menolak Pemekaran Provinsi Irian Jaya Tengah.
Kalau UU Otsusnya seperti itu, mau salahkan siapa…? Apakah Pemerintah Pusat/Negara, DPR RI atau DPRP, MRP dan Rakyat Papua….?
Bola pemekaran masih liar.
Jakarta 24/1/2022