
Cukup Sudah Hutan Kalimantan yang Dirampas, Jangan lagi di Papua
KUTAI, NGK– Perampasan wilayah adat untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) mendapat kecaman dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara ( AMAN).
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara ( AMAN) mendukung perjuangan Masyarakat Adat Papua yang gencar menolak proyek strategis nasional di seluruh Tanah Papua.
Penegasan itu di sampaikan Ketua Dewan AMAN Daerah (DAMANDA) Barito Utara, Putes Lekas pada Rapat Kerja Tahunan RAKERNAS VIII Aliansi Masyarakat Adat Nusantara tahun 2025 yang berlangsung di Desa Kedang Ipil Komunitae Kutai Lawas Sumping Layang Kutai Kartanegara Negara Kalimantan Timur, belum lama ini.
Menurut Putes Lekas, dirinya sangat berempati dengan perjuangan masyarakat adat Papua yang terus memperjuangkan hak-hak mereka. Masyarakat Adat termasuk perjuangan mempertahankan tanah, hutan dan sumber daya alam Papua, dari gempuran investasi yang masuk serta merusak hutan.
Dengan lantang Ketua BPH Aman Barito Utara itu bahkan mengingatkan kepada pemerintah pusat dan pemerintahan provinsi di Tanah Papua, bahwa cukup Kalimantan yang hutan yang dihajar habis oleh investor, mulai dari kayu, batu bara, sawit dan investasi lainya. sehingga hal tersebut tidak boleh lagi terjadi di Tanah Papua.
“Pemerintah ingat ! Cukup Kalimantan saja yang kalian rusak hutannya, jangan lagi saudara- saudaraku di Papua, merasakan hal yang sama, ” tegas Putes Lekas Ketua BPH AMAN Barito Utara.
Proyek Food Easted yang katanya dijadikan pemerintah sebagai strategi lumbung pangan Nasional, namun kenyataanya jauh dari harapan masyarakat adat, sehingga dirinya mengingatkan masyarakat adat bahwa Kalimantan sudah merasakan buruknya food Easted.
“Kami siap terjun bersama pasukan kami ke Papua, bersama- sama masyarakat adat Papua, kami siap untuk berjuang bersama orang Papua mempertahankan tanahnya.” ujarnya.
Pernyataan Putes Lekas juga bersedia menurunkan pasukan merah akang dayak untuk menunjukan eksistensi dan kesolidan mereka bersama masyarakat adat Papua berjuang mempertahankan tanah adat dari gempuran investasi dan proyek strategis nasional.
“kami siap, menunggu info seruan gerakan dari saudara-saudara kita di Tanah Papua ” Kata Putes Lekas Ketua BPH AMAN Barito Utara tersebut
PERAMPASAN WILAYAH ADAT
Sementara itu, Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, menyoroti situasi nasional yang kian represif terhadap Masyarakat Adat. AMAN mencatat 110 kasus yang melibatkan komunitas adat sepanjang Januari – Maret 2025. Pada 2024, tercatat 121 kasus kriminalisasi dan perampasan wilayah adat seluas lebih dari 2,8 juta hektare yang menimpa 140 komunitas.
Kalimantan Timur jadi contoh dari situasi yang genting ini. Dua orang Masyarakat Adat Muara Kate menjadi korban kekerasan saat memprotes penggunaan jalan umum oleh truk tambang milik PT Mantimin Coal Mining (MCM). Leher keduanya disayat–satu di antaranya meninggal dunia. Di Sepaku, Suku Balik terdesak akibat proyek IKN. Di Paser, hutan mangrove Masyarakat Adat Rangan diuruk untuk pembangunan stockpile batubara. Adapun di Kedang Ipil, masyarakat berkukuh mempertahankan hutan adat dari ekspansi perkebunan sawit.
Menurut Rukka, situasi ini bisa makin memburuk usai penetapan 77 Proyek Strategis Nasional (PSN) oleh Presiden Prabowo Subianto, dan pengesahan revisi UU TNI.
“Kebijakan itu memperkuat watak militeristik dan melegalkan perampasan wilayah adat. Di sisi lain, konstitusi sudah mengakui hak-hak Masyarakat Adat, tapi hingga hari ini belum ada operasionalisasi yang jelas. Aturan tentang Masyarakat Adat tercecer di berbagai undang-undang — ibarat tubuh yang diatur oleh kepala, tangan, dan kaki yang tidak terhubung,” kata Rukka
Ia juga menegaskan bahwa tindakan perampasan wilayah adat yang dianggap sah secara hukum belum tentu punya legitimasi. “Legal, but not legitimate.”
Rukka juga mengecam praktik kriminalisasi terhadap pejuang adat; serta regulasi yang memperkuat model pembangunan eksploitatif, seperti UU Cipta Kerja, revisi UU Minerba, UU Konservasi, dan kebijakan nilai ekonomi karbon. “Kami yang menjaga hutan, tapi pihak lain yang menikmati keuntungannya,” katanya.
Namun, di tengah tekanan, Rukka menegaskan bahwa Masyarakat Adat tidak akan tinggal diam. “Itulah resiliensi—bangkit dari trauma dengan kesadaran politik, sejarah, dan spiritualitas. Dunia telah mengakui bahwa keberlanjutan lingkungan tak lepas dari peran Masyarakat Adat.”
Ia menutup pidatonya dengan pengingat sejarah. “AMAN lahir dari perlawanan terhadap militerisme Orde Baru. Hari ini, wajah penindasan mungkin berubah, tapi wataknya tetap sama. Dalam situasi ini, sahabat kita adalah alam semesta, leluhur, dan pencipta.” (Nesta/ka)